Friday 19 April 2019

Cerpen; Sebuah Keputusan

  Sebuah Keputusan


    Ini sudah gelas ke empat, dan kita masih belum bisa menyelesaikan pembicaraan yang sebenarnya sangat sederhana. Kita masih sama-sama memeluk keegoisan dengan erat.  Waktu terasa membeku, dan cafe ini menjadi sangat dingin.

    "Tenang saja, Di. Lelaki akan lebih mudah melupakan, karena logika yang dia pakai, bukan perasaan. Jadi, kau bisa bernapas sedikit lega seharusnya." Gadis di depanku tersenyum. Aku sudah lama mengenal sosoknya yang bisa menyimpan apa saja di balik tawa.

   "Justru karena itu, Nay, lelaki akan lebih sulit melepaskan. Ada banyak perhitungan tentang perasaan yang jujur mereka sendiri gak ngerti. Kamu tahu, Nay? Ini semua menjadi semakin rumit dimengerti."

   "Langsung ke intinya, kita udah terlalu lama diskusi tanpa titik akhir. Kita sama-sama melepas. Kita bebasin semua janji yang dulu terucap. Oke?"

    "Oke, jika itu sudah mutlak keputusannya. Kita menginginkan akhir yang bahagia bukan?"

    "Baiklah, itu keputusannya."

    Seandainya kami tidak terlalu banyak berdebat, dan memilih berpelukan. Mungkin, segalanya bisa saja lebih mudah, hubungan ini dapat kupastikan bertahan. Namun, kami berdua terlalu menyikapi ini penuh emosional. Kami sudah tidak saling memahami.

   Kelak filosopi kenangan bisa saja membangkitkan pikiran-pikiran ini lagi. Rasa lemon tea, kopi pahit, serta senja yang merenung. Kita saling membebaskan. Kita tak ingin terjerat lebih lama dengan rasa sakit. Belajar memahami apa yang terjadi, dan kembali menjadi diri sendiri.

   Kami bersiap menerima semuanya dari awal. Aku tahu, ini semua terjadi bukan karena kami sudah tak memiliki hati, atau perasaan itu sudah benar-benar musnah. Cinta itu masih terasa berharga, hanya saja kami memang sudah memilih untuk tidak bersama.

   "Baiknya, ini bukan perbincangan kita yang terakhir bukan?" Aku berusaha menggenggam tangannya. Ingin rasanya menangis, tapi kupikir cafe bukan tempat yang cocok melakukan hal itu.

   "Semoga saja. Namun, jangan terlalu berharap. Aku akan pergi berpetualang ke luar negeri. Bermain-main dengan sakura, mungkin, atau meneriakan namamu di atas gunung."

   "Apa? Secepat itu kau akan pergi?"

   "Kupikir harusnya kamu mengerti. Aku menjauh untuk berusaha melupakanmu. Aku berusaha membebaskan kamu juga. Membiasakan diri tanpamu. Harusnya kamu tahu, kamu pernah lebih dari segalanya bagiku."

   "Maaf, aku hanya tak bermak ...."

   "Aku harus pergi. Selamat malam."

   Malam tak mengucapkan selamat pada kami berdua. Dia sepertinya kecewa pada keputusan kami, keputusan yang membuat malam menjadi sangat dingin, hingga hari ini.



Sumber; Screenshot anime






 Bandung Barat 07-08-2018

No comments:

Post a Comment