Saturday 31 August 2019

Cerpen; Ada Kau, Tawa dan Air Mata dalam Diriku



 Ada Kau, Tawa dan Air Mata dalam Diriku

 

   Jalanan setapak di batas kota ini, Kekasih. Kembali memintaku menjenguknya. Bukan karena sakit atau rusak. Tempat ini masih sama seperti dulu. Masih tak ingin tersentuh pembangunan. Mungkin enggan melenyapkan kenangan tentang kita.

   Aku hanya bisa tersenyum, melihat sepasang batu yang disusun berpasangan. Tempat kita melepas setiap kegelisahan, atau masa depan yang kita angan-angankan. Aku kini tengah duduk di atas sebuah batu, seperti dulu. Saat kita masih sering berkunjung ke tempat ini bersama. Aku bahkan kerap berpikir kita masih bocah SMA. Aku tertawa, mengingat kita masih sering bolos dari sekolah, hanya untuk menikmati waktu bersama lebih lama. Ah, sungguh nostalgia.

   Perjalanan yang tak singkat, melahirkan cerita ini. Kutulis untuk sebuah keabadian. Dalam dunia di kepalaku.

   "Bagaimana kabar adikmu, Kak? Apa dia masih sering mengadukan kita pada orang tuamu?"

   "Tetap sama seperti itu, Nona. Tapi Ayah dan Ibu tak pernah peduli. Mereka hanya peduli pada nilai. Dan tentu saja, aku lebih dari dia."

   Gadis berambut sebahu itu hanya tersenyum, lalu memeluk tubuhku begitu erat. Pelukannya yang sangat hangat, hingga mencairkan waktu lebih cepat.

   Aku lagi-lagi tertawa, mengingat dulu kau selalu kupanggil 'Nona'. Entah puisi apa yang telah meracuni pikiranku, hingga aku selalu menyebutmu seperti itu. Mungkin ini lucu bagi kita yang anak-anak kelahiran era modern.

   "Kak, kenapa kau selalu memanggil namaku 'Nona'?"

   "Aku hanya ingin berbeda. Yang, Mamih-Papih, Pesek-Jelek. Itu semua udah. Biasa bagi anak-anak seangkata kita."

   "Nyindir, Nih? Lagian aku gak pesek." Mata yang sipit itu berusaha melotot, tapi yang terjadi malah raut wajahmu menjadi lucu.

   "Hanya belum tumbuh."

   Lalu tangan kananmu mencubitku keras. Cukup sakit, tapi kita tutup percakapan dengan tawa. Kita berdua seperti api dan bensin. Dimana pun bertemu, pasti meledakkan rasa dalam bahagia.

   Ingin rasanya kembali pada masa. Masa di mana ruang, waktu, nominal dan kesedihan tak berarti apa-apa. Namun, waktu bukan sesuatu yang dapat berjalan mundur.

   Kau selalu menjadi warna, pada kehidupanku yang abu. Aku sebenarnya adalah orang yang apatis, mengunci diri pada pemikiran bahwa setiap orang yang datang hanya saat membutuhkan. Bedebah memang para manusia, dan aku masuk di antaranya. Tapi kau bisa membuka pikiran yang tertutup itu. Padahal kau tak melakukan apapun.

   Aku kembali tersadar. Bahwa semua yang kini ada di dalam pikiranku hanya kenangan. Seandainya saja dahulu aku menuruti satu permintaanmu, mungkin hingga kini, kau masih di sini. Mungkin kita berdua akan mamu menghadirkan dunia yang pernah kita idam-idamkan. Perlahan, kudengar lagi kata-kata terakhir yang kau ucapkan.

   "Kak, tolong tanggung jawab!"



Cerpen; Ada Kau, Tawa dan Air Mata dalam Diriku



Bandung Barat, 2019

No comments:

Post a Comment