Saturday 16 November 2019

Prosais; Kau yang Terindah

Kau yang terindah


      Kita mulai saling mengenal, sedikit tapi berkesan. Seperti tetesan embun di atas daun, pagi yang ditemani dirimu pun akan selalu berujung sejuk. Kadang kenyamanan itu hadir antara dua orang yang berbeda. Saling melengkapi--mengisi, seperti jalinan  janur yang merangkai sebuah ketupat, menyisakan tengah yang kosong, lalu kita isi dengan cerita, dan akan menikmati semua hingga akhir.

      Saling percaya, hanya itu modal kita, karena irisan rasa telah membumbui kenyamanan yang kita rasakan. Menggoreng cemburu, menjadikannya taburan di atas hidangan cinta, seperti sayur sop ditambah bawang goreng.

      Jangan tanya kenapa pengibaratan yang keluar hari ini malah makanan, karena senyummu yang manis adalah hidangan pembuka saat adzan magrib terdengar dan itu lebih dari cukup tuk hilangkan lapar yang mendera.

     Dan kita saling mengerti, bahwa ada saatnya kita bersama meski waktu magrib dipengakhiran Ramadan tahun ini kita masih masing-masing, tapi kuharap ada restu orang tuamu di tahun depan, karena tanpanya aku tak akan pergi ke syurgamu.

      Cinta . . . dirimu mengerti keinginanku akan bertambah kuat jika ditambah doamu. Daya pikirmu yang menatap semua dengan unsur "sebab-akibat" sedangkan aku membuat semuanya sesimple membuat kata "S-E-L-E-S-A-I" semoga dirimu tak pernah bosan membacanya.

Bandung, 09/07/2016




Kau yang terindah


Sesal


   Mengapa waktu pergi menjauh, kala mata ini menatap rasa cintanya begitu utuh. Dengan tulus mengalir,  basahi ruang-ruang hati yang selama ini hampir mati tanpa air. Kau seperti udara untuk api, yang jika tanpamu rasanya mati.

   Jelas dia tak seterang mentari,  tapi berkat dia, kutemukan apa yang selama ini kucari. Penjelas yang memantapkan hatiku hingga bergerak bebas.

   Dia tak pernah mengeluh di depanku meski terkadang, wajahnya termenung memandang awan. Dia memikirkan kebaikanku, tapi aku hanya memikirkan diri sendiri. Harusnya dari dulu aku sadar, bahwa dia memang yang terindah

   Kini tak ada lagi sosoknya. Ragaku tak bisa lagi bersanding dengannya. Tak ada lagi yang menarikku kala berjalan di lumpur nista, karena kini ia telah tiada. Sesal tak berarti, tapi kenyataan datang tanpa mau mengerti.


   Tangisku tak menyelesaikan segalnya, selain jadi sebuah pelantara lara keluar dari isi  hati. Kumpulan kata-kata hampa yang tercipta, hanya jadi biola tanpa nada . . 

. Bandung Barat, 17/03/2013 

No comments:

Post a Comment