Saturday 21 December 2019

Cerpen; Adakah rasa ini Tetap Sama?

  Adakah rasa ini Tetap Sama?



   Langit gelap hanya terdiam menyaksikan dua orang yang saling mencintai, kini beradu argumen hanya karena keegoisan. Awan-awan yang berniat menurunkan hujan pun urung. Ia terlalu sibuk memikirkan cara untuk mendamaikan mereka berdua.

   Sunyi menjadi lattar yang asing untuk tempat seramai ini. Seharusnya mereka berdua sadar, pertanyaan perihal seberapa besar mereka berdua saling membutuhkan bisa menjadi perekat. Bodoh memang. Mereka berusaha melepas, padahal ikatan yang menjerat begitu membekas.

   "Kak?" Gadis itu memasang muka sayu. Ia tahu benar si lelaki sedang marah karena sikapnya. Hanya saja, ia masih sulit untuk mengakui, dan berharap semua itu tak pernah terjadi.

   "Kenapa diem?"

   "Kakak kenapa? Aku ... aku gak enak aja."

   "Gak enak, atau emang kesepian?" Sang lelaki mulai menaikan nadanya beberapa noktah. Di pelipisnya tercetak jelas beberapa gurat, tanda bahwa amarahnya tak ingin ia lepaskan. Seharusnya lelaki itu sadar, maaf adalah kata yang hilang dari gadisnya. Jadi seberapa lama ia menunggu, itu tak akan terjadi.

   "Maksudnya, Kak?"

   "Kamu juga pasti ngerti, Non."

   Gadis dengan wajah sedikit kekanak-kanakan itu menatap lawan bicaranya dengan tatapan marah. Ada sepercik api yang membakar keegoisannya. Ia sudah lama menahan rindu, dan ini yang didapat? Kejam!

   "Kalo gak mau maafin, ya udah. Tapi jangan sampai ngomong yang enggak-enggak."

   "Bagian mana perkataan aku yang enggak-enggak, Non?"

   "Itu kesepian. Aku udah anggep kakak, kaya kakakku sendiri. Terus kakak udah lama diem dan jadi cuek kaya gini. Aku jadi gak enak aja."

   "Ada adik yang samain kakaknya sama barang?"

   "Itu ... itu buat lucu-lucuan aja."

    "Cuman demi kata lucu? Asli parah. Pernah gak, Non, sedikit aja mikirin perasaan orang yang kamu katain? Coba bayangin Non yang ada di posisi sebaliknya."
    Gadis itu mengajak lelaki berkaca mata itu bertemu untuk menyelesaikan masalah, agar mereka bisa kembali tertawa bersama seperti dulu. Kata rindunya tak terutarakan, dan kata maaf yang lama ia cari-cari hilang kembali. Mungkin benar, gadis itu telah kehilangan momen dengan orang yang dicintainya.

   "Udah?"

   "Masih banyak." Lelaki itu lalu melepaskan kekesalannya, dan tak bisa mengotrol apa yang ia ucapkan. Kata-kata yang tak pernah ia inginkan lahir pun, keluar dengan buasnya. Hingga pada satu kalimat yang belum terselesaikan ....

   "Itu urusan kalian! Aku gak ikutan."
   "Kan bocah."
 
   "Aku emang bocah, Kak. Tapi kakak gak akan pernah mikirin bagaimana rasanya ada di posisi aku sekarang."

   "Posisi gimana?"

   "Gak mau bahas."

   "Gimana aku bisa ngerasa kalo Non sendiri gak mau cerita. Aku gak bisa melihat benda di ruangan gelap. Aku gak mau ngeraba-raba perasaan orang lain kaya dulu, nanti kelewatan lagi."

   "Kalo kakak mau diem kaya dulu, atau berusaha pura-pura gak kenal sama aku juga gapapa."

   "Jangan ganti topik pembicaraan. Lagi pula, itu bikin Non sadar? Enggakkan. Kamu tetep jadi sosok yang ingin selalu dimengerti, tapi gak mau mengerti orang lain."

   "Intinya, aku selalu salah di depan Kakak. Gitu, kan?"

   "Gak gitu juga." Rudi lelah berdebat. Ia ingin menyelesaikan masalah, bukan menambahnya. Lelaki itu pun menyadari, kekesalan telah membuatnya kalap, hingga melemparkan kata-kata yang menyerang gadis di depannya. Dia mulai menarik napas berat, dan menurunkan nada suaranya sebagai permintaan maaf.  "Aku harus gimana?"

   "Sebentar ... tadi Kakak bilang aku gak sadar? Jadi selama ini di mata Kakak aku gila?"

   Percakapan di antara mereka telah mencapai puncak. Gadis itu tak bisa meluapkan rasa rindu yang dia pendam, dan lelaki itu tak bisa menemukan kata maaf yang tulus dari bibir gadisnya. Mereka menemukan keegoisan menjebak semua perasaan hingga tak tersampaikan.

   Ada banyak sekali kisah cinta yang berakhir di dunia ini. Bukan karena sudah tak adanya rasa cinta, tapi karena egoisme yang mereka jadikan raja. Seandainya emosi bisa diredam, dan komunikasi perihal isi hati dapat dibicarakan dengan lancar. Maka, mungkin saja kisah itu masih dalam genggaman.

   Awan berniat medinginkan suasana dengan hujan, tapi pandangan saling memburu dari dua orang yang saling mencintai itu telah membakar segalanya, kecuali cinta. Filosopi kenangan yang mereka pegang hari ini, menjelaskan banyak hal perihal luka.

   Tanpa kata lagi mereka berpisah. Menerobos rintik-rintik hujan dengan seribu pertanyaan.

   "Adakah rasa ini tetap sama, atau telah mencapai titik kadaluarsa?"


Pict; Adakah rasa ini tetap sama?




 Bandung Barat 22/06/2019





No comments:

Post a Comment