Seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk.
“Aku tak bisa begini terus,” ujar si lelaki, mengeluh. Ia beranjak, meninggalkan perempuan berkerudung itu sendirian di antara hiruk pikuk pengunjung cafe yang datang dan pergi.
"Kang Sam, tunggu!"
Namun, lelaki itu sudah tak bisa lagi ditahan. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Baginya, semua sudah tak sama seperti dulu.
***
Gadis es krim, begitulah julukan Sam pada kekasihnya, Dira. Bukan tanpa alasan lelaki bertubuh kurus itu memanggilnya demikian. Sebab, dalam momen dan situasi bagaimana pun, Dira akan selalu meminta es krim. Tidak lebih, tidak kurang. Bagi perempuan itu, es krim adalah benda sakral yang akan selalu menemaninya dalam suka maupun duka.
Setahun lebih Sam tak meninjakkan kaki cafe ini. Ada kenangan buruk yang ingin ia kubur. Namun, seberapa keras lelaki itu berusaha, hasilnya tetap sama. Kenangan seperti bayangan yang akan selalu muncul dari arah yang tak terduga. Jika bukan karena sebuah permintaan, lelaki itu tak pernah ingin kembali ke sini.
Mata lelaki itu menyapu seluruh ruangan cafe. Tak ada perubahan berarti di sana. Seolah-olah, tempat itu ingin menyimpan segenap kenangannya agar menjadi abadi. Seorang pegawai yang telah mengenal Sam menyambutnya, lalu mempersilahkannya duduk. Setelah sedikit berbasa-basi, pegawai itu ijin ke belakang untuk menyiapkan beberapa pesanan.
Cafe sebelas dibangun menghadap bibir
pantai dan hanya dipisahkan jalan alternatif antar kota yang hanya sibuk
jika musim liburan tiba. Sam dan Dira telah
datang ke cafe ini dari hari pertama dibuka, hingga bukan hal aneh mereka telah dikenal oleh beberapa pegawai.
"Kuharap, kenangan-kenangan indah itu bisa lesap dihisap waktu, atau hilang ditelan usia. Aku sudah lelah mengayomi rindu dan menidurkan rasa sedih sendirian," ucap Sam. Ia menatap orang-orang yang datang dan pergi, sebelum kembali berbisik pada dirinya sendiri, "Bukankah datang dan pergi sudah menjadi skema dunia? Lalu kenapa aku harus sesakit ini menerimanya?"
Sebuah sentuhan lembut di bahu membuat Sam tersadar dari lamunannya. Perempuan di depannya terlihat tak ada perubahan sama sekali. Wajah, postur tubuh, bahkan lesung pipi saat ia tersenyum. Namun, seberapa kuat lelaki itu berusaha, hatinya tetap tak bisa menerima.
Angin dari arah laut sesekali membawa aroma garam, tak lupa suara empasan ombak di pantai kerap jadi suara latar belakang mereka. Kaku. Hanya ada suara deru roda kendaraan di jalanan. Tak ada sapa, terlebih kata-kata mesra. Bahkan, kata-kata basi semacam apa kabar terasa mati.
Setelah beberapa menit terlewati dan beberapa kali menutup mulut kembali. Akhirnya perempuan di depan sam berusaha memebuka percakapan yang terasa sangat berat bagi keduanya.
"Kesedihan dan kegembiraan adalah jalan yang saling menyambung, Kang. Jadi, tak perlu sekecewa itu mendapati takdir dari-NYA. Sudah setahun kepergian Dira. Kenapa tak mencoba membuka hati dan merasakan cinta yang baru?"
"Semua akan berakhir sia-sia, Dit. Jadi lebih baik kamu juga pulang dan jangan temui aku lagi. Kamu tak perlu memaksakan diri mencintai aku karena perjodohan ini."
"Sungguh, Dita juga merasakan kehilangan, sama seperti Akang. Tetapi jika terus menerus terpuruk seperti ini, bukankah itu tandanya kita juga tak mensyukuri anugerah lain dari-NYA?"
"Maaf. Aku tak bisa terus begini. Ini sama saja memaksamu jadi Dira, Dit. Aku mencintai saudarimu. Sampaikan maafku pada Ibu, kita masih akan menjadi saudara meski tak terikat darah atau pernikahan."
Sam merasa sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tak ada lagi yang bisa ia ungkapkan. Kisah cintanya telah habis. Sam pergi meninggalkan Dita tanpa berkata lagi. Es krim di meja telah lama mencair, bersama lelehan air mata Dita yang tak akan bisa mengubah apa-apa.
Bandung Barat, 01/06/2020
No comments:
Post a Comment