Saturday 4 July 2020

Promo Buku : Santri Love Story


Santri Love Story


    “Aku nggak menyangka, Mbak Wirda akan segera menjadi seorang istri,” ujar Kamila seraya meletakkan tas di meja dan membuka jilbabnya. Gadis itu menghempaskan pantat di kasur hotel yang empuk.

    “Suatu saat, kamu juga akan menikah.”

    “Entahlah, aku nggak yakin.” Kamila merebahkan tubuhnya ke ranjang sambil memeluk guling.

    “Apa maksudmu dengan nggak yakin?” Wirda memeluk sang adik.

     “Mbak Wirda tahu apa maksudku. Apakah akan ada seorang pria yang mau menerima keadaanku?” Kamila menatap sepasang iris hitam kelam di depannya.

    “Tentu saja! Hanya pria picik yang mempermasalahkannya. Itu bukan salahmu sepenuhnya.”

    Kamila mendesah. “Sudahlah, jangan membicarakan sesuatu yang belum terjadi. Bagaimana dengan Mbak Wirda sendiri? Apakah merasa deg-dengan?” goda Kamila.

    “Deg-degan sudah pasti. Kita tak akan pernah merasa siap, untuk hal yang satu ini, bukan? Apalagi jika melihat kegagalan-kegagalan pasangan karena berbagai sebab.”

    “Membicarakan pernikahan membuatku ngantuk.” Kamila menguap. “O, ya, Mbok Manah mana?”

    QWirda mengacak kepala sang adik. “Mandilah dulu, biar tidak gatal, katanya. “Mbok Manah ada di kamar sebelah. Besok saja ketemunya. Mungkin beliau sudah tidur. “

    “Bagaimana Mbok Manah hidup di Medan?”

    “Mbok manah sangat senang. Beliau suka belanja di pasar. Selalu memborong ikan-ikan segar dan pisang barangan.”

    Kamila tertawa. “Mbak ....”

    “Hmmm ....”

    “Tentang mandi ... aku malas.”

    “Bau, tahu! Kebiasaan!”

    Kamila tertawa, tapi gadis itu berkeras untuk langsung tidur. Tak berapa lama gadis itu sudah terbang ke alam mimpi. Wirda hanya bisa geleng-geleng kepala kemudian menyelimuti Kamila dengan penuh kasih sayang. Tak ada yang lebih berharga di dunia ini dibanding kebahagiaan sang adik. Kata itu yang selalu menjadi landasan dari berbagai keputusan yang diambilnya selama ini.

    Wirda menatap wajah Kamila yang terlihat polos saat tidur, kemudian merebahkan diri di sampingnya. Bagaimana kehidupannya kelak bersama Farhan? Wirda tidak ingin terlalu memikirkannya. Dia akan menjalani semua seperti air yang mengalir. Dia akan berusaha sebaik-baiknya. Bagian tersulit dalam hidupnya akan dipasrahkan kepada Allah. Ya, Allah-lah yang mengatur segala sesuatu di muka bumi ini. Bahkan air yang jatuh dari pucuk daun pun terjadi atas izin-Nya.


    ===Cattleya==



    Kamila melangkah pelan, diikuti Naya dari belakang. Suasana terasa tegang dan kaku. Kamila tidak tahu kenapa. Biasanya Mirza selalu santai. Apakah ada hal gawat yang telah terjadi?

    Kini Kamila dan Mirza duduk berhadapan, di antara mereka terbentang sebuah meja dari kayu yang di atasnya tergeletak stetoskop berwarna hitam dan beberapa buku. Gadis itu mendesah pelan. Telapak tangan dan kakinya kini mulai terasa dingin.

    Naya duduk di kursi belakang Kamila, yang bersandar pada dinding. Dia melihat seorang santri laki-laki duduk beberapa langkah di belakang Mirza. Santri itu mengangguk hormat dan malu-malu padanya.

    “Bagaimana profesi barumu?” tanya Mirza memecah kebisuan.

    “Baik, Gus, saya sudah mulai terbiasa.”

    “Adakah kesulitan yang kamu temui?”

    “Sejauh ini tidak.” Kamila memandang wajah Mirza sejenak, kemudian menunduk memandang meja.

    Sejenak keduanya terdiam, seolah dicekam waktu, bahkan detik-detik terasa berjalan sangat lambat. Kamila mulai gelisah. “Gus, kita di sini bukan untuk membicarakan profesi saya sekarang, bukan?” Suara Kamila terdengar menggema.

    Mirza mendesah. “Aku ... aku nggak tahu bagaimana harus memulainya.”

    “Katakan saja, Gus. Apakah Gus Mirza menginginkan bantuan saya?”

    "Aku hanya ingin bertanya.” Mirza menatap kedua mata Kamila lekat. “Maukah ... maukah kau menjadi istriku?”

    Seperti petir menggelegar di sing bolong, Kamila terkejut setengah mati mendengar apa yang dikatakan Mirza, hingga membuat gadis itu terpana. Dunia seolah berhenti berputar. Kata-kata yang diucapkan Mirza adalah kata-kata yang ingin sekaligus tidak ingin didengarnya. Ketakutan dirinya akan kenyataan masa lalu membuat jantung Kamila bertalu.

    “Kalau boleh, saya akan memikirkannya dulu, Gus,” kata Kamila sambil menunduk. Ada kesedihan yang mengaduk-aduk hatinya. Mengapa dia harus menghadapi dilema cinta? Apakah Mirza bisa menerima keadaannya? Mungkinkah dia dan Mirza bisa hidup bersama?

    “Baiklah, aku akan menunggu,” kata Mirza lega karena telah berhasil menyatakan lamaran tak resminya. Meskipun Kamila tidak langsung mengiyakan, tapi setidaknya gadis itu telah tahu, Mirza mencintainya.

    “Nggih, Gus, kalau begitu, saya permisi dulu.”

    Mirza mengangguk, membiarkan Kamila dan Naya meninggalkan tempat itu.

    Di koridor menuju asrama putri Naya tidak henti menggoda, tetapi ditanggapi Kamila dengan diam seribu bahasa. Naya menjadi heran dengan reaksi Kamila. Sebenarnya gadis itu mencintai siapa, Mirza atau jangan-jangan ... Aqmar?

    “Mil, kamu kok ketoke gak bahagia mendengar lamaran Gus Mirza?” tanya Naya.

    “Mbuh, Nay. Aku gak iso mikir. Sirahku mumet!” (Entah, Nay. Aku nggak bisa berfikir, kepalaku pusing)

    “Lho kok mumet, sih, Mil? Kudune kamu seneng, tho?” (Lha kok pusing, Mil? Bukankah seharusnya kamu senang?”

    "Kowe nggak ngerti."

    “Kasih tahu aku kalau gitu!”

    Kamila tidak menjawab dan hanya berjalan tergesa menuju kamarnya. Seandainya bisa, dia ingin segera menghilang dari sana. Masih adakah tempat sempurna bagi gadis yang tak sempurna sepertinya? Hatinya kembali diremas perih.


====Cattleya===


    Gadis itu menemukan pohon cemara kemudian duduk bersandar di bawahnya. Terdengar notifikasi dari ponselnya. Sebuah pesan dari Mirza masuk. Pria itu bertanya di mana Kamila berada.

    [Saya belanja, Gus, tapi mampir ke pantai sebentar. Sudah lama saya nggak ke sini.”

    [Haruskah seformal itu terus memanggilku ‘gus’?”]

    [Saya seharusnya memanggil begitu dari dulu. Gus Mirza adalah putra Kyai Farid. Panggilan apa yang pantas selain memanggil ‘gus’?]

    [Terserah kamu saja. Aku ingin bertemu denganmu.]

    [Ajaklah seorang santri laki-laki dan Naya bersama Gus Mirza.]

    [Baiklah, Ustazah.] Mirza menyematkan emotikon menyeringai.

    Kamila menghela napas dalam-dalam. Dia belum menyiapkan jawaban untuk Mirza. Apa yang harus dikatakannya pada pria itu? Kamila berdiri dan melangkah menuju bibir pantai, meninggalkan barang-barangnya di bawah pohon. Dia berjalan di pasir yang basah, sambil menunggu datangnya lidah ombak. Wirda pernah bercerita, semasa kecil, kedua orang tua mereka sering membawa mereka ke pantai. Mereka senang bermain pasir, mendirikan istana dan menjadikan kerang-kerang sebagai hiasan. Namun, kenangan itu hanya tinggal kenangan. Istana pasirnya telah hilang ditelan ombak, bersama papa dan mama yang berlalu bersama sang waktu.

    Tak berapa lama kemudian, Mirza, Azhar, dan Naya menemukan tempat di mana Kamila berada. Naya dan Azhar membiarkan Mirza mendekati Kamila. Mereka melihat dari jarak yang tak terlalu jauh.

    “Assalamu’alaikum, Bu Ustazah.”

    Kamila menoleh.”Wa alaikum, Gus. Ada perlu apa?”

    “Apakah kau telah mempunyai jawaban untukku?” Mirza langsung pada inti pembicaraan.

    Kamila mendesah, melemparkan pandangannya jauh di batas cakrawala. “Kenapa Gus Mirza menginginkan saya sebagai istri?”

    Mirza menghela napas dalam-dalam. “Semua orang pasti tahu, dasar seorang melamar adalah karena dia mencintai dan merasa bisa membangun keluarga bahagia bersamanya. Apakah kau punya perasaan yang sama denganku?”

    “Sayangnya, saya bukan wanita yang tepat untuk Gus Mirza. Seharusnya Gus Mirza menikah dengan seorang ning, seperti Gus Aqmar menikah dengan Ning Bilqis.”

    “Katakanlah, aku sebuah pengecualian. Aku ingin menikah dengan gadis yang kucintai, bukan gadis yang dijodohkan.”

    “Saya merasa tidak pantas menjadi istri Gus Mirza.”

    “Kepantasan di mata manusia tak sama dengan kepantasan di mata Allah.”

    “Gus, kau seorang yang hebat. Gus Mirza bisa saja mendapatkan seorang yang lebih segala-galanya dari saya. Seorang dokter misalnya, atau bahkan seorang ning yang sekaligus seorang dokter. Percayalah, saya hanya gadis yang tak sempurna. Saya punya banyak keburukan yang tak Gus Mirza ketahui.”

    “Bukankah nggak ada manusia yang sempurna?”

    “Saya bukan hanya nggak sempurna. Bahkan untuk berbicara dengan Gus saja, saya merasa nggak pantas. Jadi, buanglah harapan Gus Mirza untuk menikah dengan saya.”

    “Maksudmu ... kau ... kau ....” Mirza tidak melanjutkan kalimatnya dan memandang Kamila lurus-lurus, berharap bisa melihat kedalaman hatinya, melihat kejujurannya.

    “Ya, Gus, saya nggak bisa menikah dengan Gus Mirza, karena saya merasa nggak pantas.”

    Mirza tertegun. Dia merasa berada di pusaran waktu dan tergulung bersamanya di palung kenyataan pahit. Jadi Kamila benar-benar menolaknya? Sesungguhnya tidak pernah membayangkan sebelumnya. Selama ini Mirza melihat perdar-pendar cinta untuknya dalam sorot mata Kamila. Apakah itu hanya delusi? Apakah selama ini dirinya hanya dipermainkan khayalannya sendiri? Rasa perih tiba-tiba menusuk tepat di jantungnya. Setelah menghela napas dalam-dalam dia berkata, “Baiklah, Kamila, jika itu yang kamu inginkan.”

    “Maafkan saya, Gus,” ucap Kamila dengan suara serak.

    Mirza berlalu, menelusuri pantai, menjauh dari Kamila. Di tempat yang tidak mungkin terdengar orang, dia berteriak keras, meluapkan segala sesak yang memenuhi dada. Dua kali dia patah karena cinta.


    Bagaimana kisah cinta ini menjalani takdir dan berakhir? Jawabnya ada di novel Santri Love Story yang saat ini sedang masa PO. Ada bonus TASBIH DIGITAL lho.


    Pemesanan bisa menghubungi :

    Penulis : Cattleya

    No Watsapp : 0852 1648 6786

    Atau langsung melalui Penerbit LovRinz

No comments:

Post a Comment