Friday 29 January 2021

Review Film : Escape from Pretoria (2020)

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_14
#NomorAbsen_302
Jumkat : 485 kata


Review Film Escape from Pretoria (2020)


    Saat Stephen dan aku lulus tahun 1973, separuh Afrika Selatan membara. Polisi menembaki anak-anak kulit hitam seperti kelinci, sementara lainnya meminum pina coladas di pantai khusus kulit putih mereka. Tumbuh besar di bawah Apartheid, artinya pemisahan orang berdasarkan warna kulit mereka. Dan, saat kami membuka mata, realita Apartheid sebenarnya terpampang jelas di hadapan kami.

    Apa yang biasa kami terima, kini kami tolak. Kami tak ingin hidup dibangun dari kebohongan dan kelalaian. Kami ingin bergabung dengan usaha yang ada untuk demokrasi dan membebaskan Afrika Selatan dari diskriminasi ras dan melakukan sesuatu, kata-kata kami tak berarti. Apa yang kami pilih untuk lakukan adalah tindakan paling radikal. Dan, tidak diragukan paling meledakkan. Kami bergabung dengan Kongres anasiaonal afrika yang dilarang, Bersama saudara dan Saudari kulit hitam dan orang asia kami menyebarkan bahwa kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh ras harus diperjuangkan tanpa peduli berapa pun harganya. Dan, harganya melebihi dari apa yang kami bayangkan.

    Di adegan awal, dua orang pemuda membawa sesuatu dengan tergesa-gesa. Menyimpannya di antara tumpukan sampah, sambil terus bergegas seolah diburu waktu. Mereka adalah Timothy Jenkin (Daniel Radcliffe) dan Stephen Lee (Daniel Webber). Orang-orang berkulit putih yang mendukung ANC agar kesamaan hak antar ras.

    Setelah satu bom meledak dengan menghamburkan kertas ke udara, mereka berdua berniat kabur. Namun, sebelum itu terjadi, polisi telah datang ke tempat dan memberhentikan mereka.

    Hingga pada akhirnya kedua lelaki itu dinyatakan bersalah pada Juni 1978, di cape town, Afrika Selatan. Mereka dituntun atas tindakan terorisme, tetapi dinyatakan bersalah karena menyebarkan selembaran kesamaan hak antar semua ras. Tim divonis 12 tahun dan Lee 8 tahun. Mereka akan dipenjara di Pretoria. Penjara dengan tingkat keamanan yang sangat ketat.

    Di penjara Pretoria, Tim dan Lee bertemu dengan beberapa narapidana, Denis Goldberg (Ian Hart) yang sudah dianggap tetua memberi masukan pada mereka agar membiasakan diri saja di sana, tanpa perlu berusaha melarikan diri. Namun, Leonard (Mark Leonard Winter) yang punya ambisi yang sama tetap mendukung mereka. Mereka bertiga lalu saling bahu membahu untuk bisa melarikan diri. Untuk kebebasan! Untuk kesamaan hak seluruh manusia!

    Secara alur, film ini terkesan lambat di awal, tetapi semakin cepat menuju akhir. Alur utamanya hanya tentang melarikan diri dari penjara, tetapi beberapa adegan, Rahmat sebagai penonton ikut merasakan ketegangan yang dihadirkan. Keren.

    Sejujurnya, Rahmat penasaran dengan film ini karena nilai historinya. Film ini adalah kisah nyata tentang Tim dan Lee. Sang sutradara, Francis Annan, berhasil menghadirkan kembali ketegangan yang mereka lalui ke dalam film.

    Dibanding membahas jalan cerita, Rahmat lebih tertarik dengan kesamaan hak antar ras. Bukan hal baru memang, tetapi sampai hari ini, deskriminasi antar ras (mungkin) masih terjadi bahkan di antara kita. Rahmat ambil contoh kekejaman Nazi di Jerman atas pembantaian Yahudi dan orang-orang berkulit hitam. Genosida 1994 di Rwanda, dan yang lainnya. Meskipun (katanya) sejarah akan selalu terulang, bukankah alangkah bagusnya jika yang terjadi berulang-ulang itu hanya yang baik-baiknya saja?

    Tim dan Lee adalah contoh, bahwa kesamaan derajat antar manusia tetap harus dilakukan, sebesar apa pun bayaran yang harus dikeluarkan.

Bandung Barat, 14/06/2020

No comments:

Post a Comment