Saturday 6 February 2021

Cerpen: Nganjang ka Pageto


Nganjang ka Pageto


    Ke mana angin akan membawa langkah? Ke sanalah aku berjalan. Aku adalah selembar daun lusuh yang tak memiliki apa pun. Memercayakan sebatang ingatan yang menancap di tanah pijakan. Lantana tumbuh di mana-mana, menemani langkah-langkah lemah tanpa tujuan. Teratai membelai-belai mata, memaksa memori mengulum sebuah mimpi yang tak akan terlaksana. Kakiku menginjak kenangan. Ingin kupanggil kembali tahun-tahun silam dan membenamkannya di ujung ragu. Namun, apakah itu semua masih mungkin? Aku tak yakin sama sekali.

    Hanya penyesalan dan air mata yang setiap hari menemani, semakin membuatku tenggelam dalam kesedihan. Hendak kuceritakan pada siapa beban ini? Sedangkan bayangan sendiri pun pergi, saat kubicarakan luka-luka. Saat kamar kubiarkan redup untuk menutupi semua air mata, bayangan yang katanya selalu menemani, nyatanya meninggalkanku. Bagaimana mungkin orang lain akan bertahan?

    Di depan cermin, aku melihat tubuh sendiri. Mata telur ceplok dengan pipi yang sedikit melebar ke bawah, juga hidung yang terlihat seperti daging sisa. Ini aku dan segala yang kumiliki. Jangankan lelaki rupawan dengan harta bergelimpangan, mungkin monyet pun akan berlari tunggang langgang saat berpapasan denganku.

    Hal itu pula yang menyebabkan aku lebih tertarik mengingat-ingat masa lalu, saat tubuhku masih seperti sapu lidi yang bisa kapan saja patah, dibanding sekarang. Dan, kini aku tersadar, bahwa selalu hidup di masa lalu tak akan pernah membawaku ke mana-mana. Bukankah itu sebuah kesalahan yang begitu memuakkan?

    Aku harus memulai dan mengejar banyak hal yang tertinggal. Aku harus memulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu, berbaur dengan masyarakat, mungkin, atau pergi menuju keramaian. Kebetulan beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan tiket museum dari sayembara di sebuah koran. Aku harus berubah. Harus!

    Maka dari itu, hari ini, aku berdoa pada Tuhan, agar semuanya bisa berjalan biasa saja. Agar aku bisa berpikir—setidaknya—sama dengan orang-orang yang seumuran denganku, bukan terus terjebak--dan diputar-putar--di lorong kesendirian yang menyebalkan. Seperti seekor binatang peliharaan yang sedang diajak berkeliling hutan dan tersesat.

    Dan, akhirnya aku terdampar di sini. Menatap sebuah kereta tua usang yang entah apa faedahnya hingga jadi barang museum. Di sebuah papan penjelasan, aku membaca sebuah kalimat yang menarik.

    "Waktu lebih berharga dari uang, karena uang tak akan pernah bisa membeli waktu.”

    Selesai membaca itu, tiba-tiba saja pikiranku serasa ditarik dan dilenturkan layaknya karet. Sedikit mual kurasakan, tetapi ada sesuatu dalam dadaku yang memaksa untuk bertahan. Aku mencoba memegang apa saja yang ada, sembari memejamkan mata.


https://www.pexels.com/photo/woman-s-silhouette-photo-during-sunset-185517/


    “Kita adalah manusia-manusia merugi, Gadis manis. Hidup dari kekalahan dan kepayahan, hanya menunggu jadi abu-abu. Namun, Tuhan tak akan pernah setega itu kepada para hamba. Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

    Kalimat itulah yang pertama kali terdengar oleh telingaku. Aku belum berani membuka mata, bahkan sedikit saja. Aku terlalu takut saat membuka melihat hal yang aneh-aneh, atau pikiranku yang menjadi aneh-aneh. Tiba-tiba, ada sesuatu yang terasa ingin muntah, keluar begitu saja dari mulutku. Bukan isi perut, tetapi kata-kata.

    "Aku hanya akan diam, menemani batu-batu yang menjulang, dan berlumut bersama.”

    Perlahan, kubuka mata. Aku tak tahu sedang berada di mana, yang terlihat sepanjang pandangan hanya lorong-lorong keabu-abuan, tempat yang teramat asing, tetapi ada sesuatu yang rasanya sangat dekat. Ada sebuah ketenangan yang tak bisa dijelaskan.

    Kursi-kursi dipasang berderet, seperti sedang menunggu kereta, atau angkutan lain yang mungkin akan membawaku ke suatu tempat yang entah di mana. Hanya ada aku dan seorang nenek di sini.

    “Maaf, Nek. Kita berada di mana sekarang?"

    "Di ruang hampa yang sedang kau cari, Nak."

    Ruang hampa? Apakah ini yang disebut kematian? Meski terkejut, aku tidak takut. Toh ada seseorang yang menemaniku di sini. Namun, bagaimana mungkin kematian ditemani? Tak masuk akal sama sekali.

    "Nek, maaf sebelumnya. Anda siapa? Saya siapa?"

    Pertanyaan bodoh! Aku tak berniat mengatakannya, tapi ... tapi ....

    "Kita berdua adalah orang yang sama. Hanya dipisah waktu yang lama. Nak, pernah dengar istilah *nganjang ka pageto? Hari ini, kamu sedang melakukannya."

    "Maaf, Nek?"

    Langit hitam menggulung warna abu-abu yang ada di langit. Sejenak tanah yang kuinjak menjadi asing. Entah itu sensasi, aura atau terserah kalian menyebutnya apa. Namun, beberapa hal yang pasti, aku sedang berada di situasi yang tak baik-baik saja.

    Aku mencoba menelusuri jalan setapak ini, mungkin seseorang sedang diam menanti kedatanganku di ujung sana. Samar-samar terdengar dari jauh derak suara kereta.

    ‘Saatnya pulang.’ Sesuatu yang bukan aku kembali mengutarakan pandapatnya.

Bandung Barat, 17/06/2020

Catatan : *nganjang ka pageto : Pergi ke masa yang akan datang. Istilahnya, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, atau mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya (Revolusioner)

                *Ditulis untuk (dan sudah) diikut sertakan dalam event 30 Hari Menulis grup Facebook Nulis Aja Dulu

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_17
#NomorAbsen_302
Jumkat : 691 kata

No comments:

Post a Comment