Arti pendakian
Langit kala itu belum sepenuhnya terlihat, jalanan basah sisa tangisan
langit semalam menjadi awal terlenanya mereka menikmati karya Tuhan yang
terhampar. Memandang tak jemu dengan ribuan kata syukur yang terucap di
hati kecil. Benar-benar tanpa cela ciptaan-Nya.
"Siap, Niff?"
"Iya Di, ayo!" Ujar gadis itu bersemangat.
***
Langkah demi langkah membawa sepasang muda-mudi pada terjalnya jalur pendakian Gunung Tangkuban perahu. Udara sesejuk rindu, melewati diafragma. Mengganti asupan polusi kota menjadi oksigen yang lebih menyehatkan.
Dan mereka mulai menapaki jejak-jejak tanah becek.
Tarian ilalang menemani perjalanan menuju puncak, mereka berdua
menikmati semua pada setiap sesapannya.
***
"Nyampe Nif, kita pasang tenda di sini," ujar Ardi sambil menurunkan ranselnya.
"Yakin? Puncak masih jauh ga?" Peluh mengalir di pelipisnya. Terlihat begitu lelah, namun tak menyurutkan semangatnya.
"Iya di sini. Biar nyari air ga terlalu jauh. Lagi pula puncak udah deket ko."
Mereka berdua pun saling bantu mendirikan tenda, membersihkan ilalang yang menghalangi, dan membuat tempat untuk api unggun.
~
"Masak ya. Aku nyari kayu bakar." Ardi memasang wajah memelas.Tak menjawab, Niffa hanya mengangguk tanda setuju.
Semua hampir selesai, di atas matras makanan tersaji. Ardi sedang
membetulkan api unggun agar kehangatan menyelimuti sepasang pendaki yang
masih belajar arti kehidupan yang sebenarnya
~
"Masak ya. Aku nyari kayu bakar." Ardi memasang wajah memelas.Tak menjawab, Niffa hanya mengangguk tanda setuju.
***
"Udah, ayo makan dulu," ucap Niffa
***
"Apa sih cita-cita yang hingga kini belum terselesaikan dari kepingan mimpi kamu?" Ardi membuka perbincangan.
"Kepingan? Kepingan emas? Haha!! Apa ya, banyak lah, kasih alasan terbaik kenapa aku harus ngasih tau ke kamu?"
"Karena aku akan jadi seseorang yang menemani kamu mengejar impian itu."
"Mulai nih, gombal. Oke, kalau itu alasannya, seiring waktu, kamu
bakalan tau. Dan pertanyaan aku, sebetulnya kamu berasal dari daerah
mana sih, Di?"
Tak sempat menjawab, percakapan mereka harus
terhenti oleh rintik-rintik hujan yang menghujam, tepat di mana mereka
bersama. Rinai-rinai mulai menetes ke tenda mereka. Gumpalan awan tipis
berdatangan, hendak memeluk mereka hingga ke titik beku paling
mematikan.
"Ayo cepet masuk!" Ardi sedikit berteriak.
***
"Kamu gapapa 'kan, Nif?" Ardi menatap wajah niffa yang pucat.
"Engga, Di. Ga usah hawatir."
Lalu Ardi memeriksa jaket yang dipakai Niffa. 'Astaga, basah! Jaket yang dipakainya tembus air.' Bisik pemuda itu dalam hati.
Ardi melucuti jaket Niffa, lalu mengganti dengan yang sedang dipakainya.
Pemuda itu menyalakan kompor portable yang mereka bawa, hendak
memanaskan air, setidaknya itu salah satu cara yang dia tau untuk
menepis hawa beku yang hendak menyeret mereka pada kematian.
Langit semakin deras mencurahkan perasaannya, hembusan angin kencang menambah nuansa semakin mencekam.
***
Air mulai mendidih. Ardi mulai memasukannya ke dalam termos kecil, lalu menyimpannya ke kantong tidur yang telah digunakan Niffa.
Suhu
semakin menggila, hampir di Nol derajat. Niffa mulai berhalusinasi, dan
badan Ardi mulai menggigil karena suhu tubuhnya yang menurun.
Dentuman air menghantam tenda, menjadi harmoni. Nyanyian kematian makin nyaring terdengar di telinga mereka.
Deg ... deg ... deg ....
Suara jantung Ardi semakin melemah, dan wajah Niffa semakin pucat saja.
"Tuhan, apa ini akhirnya? Mah, Pah, maafin Ardi. Belum bisa bahagiain
kalian," ucapnya sambil memegang kalung pemberian ayahnya. Terjatuh,
kini mereka berdua tak sadarkan diri.
***
"Apa kami sudah di surga?" Ardi menatap wajah gadis yang dicintainya masih terbaring lemas di sampingnya.
"Jangan bicara seperti itu, Di. Mamah menjemput kalian pakai ufo ayah
yang disimpan di ruang bawah tanah kita. Mamah dengar suara hatimu dari
sini." Ibu muda itu menunjukan kalung yang sebelumnya digunakan Ardi.
"Hah? Ufo mah?" Ardi terbelalak. Kemudian kembali tak sadarkan diri.
No comments:
Post a Comment