Tuesday 2 May 2017

Prosais; Wanita Berpayung Rindu

 Wanita Berpayung Rindu




   Wanita itu tersenyum di depan murid-murid kecilnya. Tiada keluh yang sempat terucap, hanya senyum dan canda yang ia lempar pada siapa pun di sekitarnya. Namun, kala ia sendirian, dibelainya lagi luka-luka kesayangannya. Terlihat begitu banyak rindu, tapi menjelma belati. Wanita berpayung rindu, begitu aku menyebutnya, wanita yang memancarkan cahaya, namun hatinya sendiri redup.

   "Sudahlah, Di. Kesepian hanya cerita sesaat. Dunia tak pernah berhenti berputar untuk menunggu orang-orang yang masih terjebak masa lalu." Wanita itu tersenyum, lalu menepuk pundakku.


   'Di sebuah ladang, ilalang-ilalang itu telah meninggi, bahkan aku tak terlihat saat masuk ke dalamnya. Ladang itu hati dan ilalang adalah jelmaan rindu. Aku jadi seperti gulma dihidupku sendiri. Ini rasa yang aneh.'


   "Desember telah membasahi ladang-ladang yang kering, langit senja yang kemilau itu kini tertutup awan. Tapi, kenapa dahaga dirimu tak pernah hilang, Puan?"


   Dia lagi-lagi hanya melemparkan senyum, "Aku pulang, kau harusnya lebih bahagia dari ini, Di." Dia bangkit, lalu membuka payung hitamnya. "Tak perlu berkata apa pun pada gadis yang tengah menunggumu, pertemuanlah yang dapat menggugurkan semua rindu-rindu pada ranting kalbu"


   Yah, wanita itu kerap merintih dalam diam, sering menangis, mengumpulkan serpihan-serpihan rindu, meski masih dalam diam. Matanya kerap bercerita padaku, walau mulutnya tetap bungkam.


   Andai saja semilir angin dapat diajaknya berbincang, mungkin hatinya tak akan sesepi ini. Andai saja batu karang menceritakan rahasianya agar tetap tegar, mungkin mata wanita itu tak akan pernah basah. Ah ... aku hanya bisa berandai-andai, aku tak mungkin meminjamkan bahu, karena ini masih milik seseorang yang entah masih menganggapku ada atau tiada dan tetap saja rintik-rintik hujan itu menyanyikan sebuah kerinduan.


Saat Hujan,
Bandung Barat 2017


Art_Ian Handoko

No comments:

Post a Comment