Saturday 28 October 2017

Cerpen; Kenangan


Foto
Kenangan


 

Kenangan

   Aku mengenalnya saat dia berkunjung ke rumahku. Saat itu hujan tengah memayungi kotaku. yang dingin. Senja terlihat murung, ditutupi awan. Begitu pun sosok di depanku. Namanya kenangan, dia mengaku lahir dari masa lalu kita. Aku hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum. Mungkin si kenangan ini lahir dari rahimmu, Puisi? Entahlah ....

   Dia tersenyum ke arahku. Tubuhnya kuyup, mungkin karena hujan, atau air mata kita. Aku tak begitu memahami.

   Matanya mirip matamu, Puisi. Mata yang bening dan damai. Mata yang bisa menyimpan kilauan cahaya rembulan. Wajahnya seperti pernah dipahat waktu. Tubuhnya kini kurus kering. Namun dibeberapa tempat, terlihat lipatan. Mungkin, dia pernah gemuk berisi harapan.

   "Bagaimana bisa kau tau alamat rumahku, Kenangan?"

   "Hatimu dan hatinya adalah tempatku pulang. Tempat di mana aku tinggal dan hidup. Aku tak akan pernah bisa melupakannya, seberapa kuatpun itu kulakukan. Jangan pernah salah sangka kepadaku. Biarkan aku tinggal, sekadar mengingatkan bahwa kalian -- mungkin maksudnya kita, Puisi-- pernah menginginkan waktu-waktu bersama."

   Duh, Puisi. Aku merenung memikirkan kata-katanya.  Dan sangat terkejut saat dia menambahkan kata-kata yang pernah kau tulis, menjadi versinya sendiri.


"Apa benar, kalian akan melupakanku dengan indah?
 Berdamai dengan seluruh tubuh dan saudara-saudaraku?
Aku mohon. Jangan pernah ada setitikpun kebencian di dadaku, juga kalian."

   Kenangan yang tengah duduk di kursi depan, memang tak terlihat membenci takdirnya. Tapi, Puisi. Bukankah kepergian selalu menyisakan lubang? Jadi, haruskah kenangan yang bermata matamu ini mengisisnya?

   "Yang pasti hanya kematian. Sedangkan riwayat bisa saja ber-ubah seiring pasir pada labirin waktu berjalan."

   Hanya kata-kata itu yang dapat kuucapkan padanya. Apa jawabanku salah? Tersebab dia kini menatapku tajam. Seolah meminta rintik-rintik hujan turun dari mataku.

   Oh iia, Puisi. Apa si kenangan ini juga pernah berkunjung ke kotamu? Jika iia, apakah kau memperhatikan luka-luka yang ada di tubuhnya? Tubuhnya kini semakin menyusut, seiring kita yang makin menjauh.

   Tanpa isyarat. Kenangan itu masuk ke tubuhku. --Seperti udara, dia masuk  lewat hidungku.-- Sekumpulan ingatan kini hinggap dalam pikiranku. Memaksaku menciptakan bait-bait luka. Tapi dalam hal apa? Seumpama cinta kita kapal tanpa kepastian, riak gelombang pasti telah menenggelamkannya.

   Beberapa diksi berbaris rapi di hatiku. Maju melewati tangan yang kini tak ingin berhenti meramu. Apa hal? Sebenarnya aku ingin diam saja menanggapi perpisahan ini. Tapi pikiran si kenangan telah merasuk, meminta dengan sangat untuk dicurahkan.
   Harapan kini telah berbotol kosong. Dan kita -- atau mungkin hanya aku-- tengah berusaha melepas; membebaskan diri, mengkafani mimpi. Mengusahakannya agar terurai, membias bersama cahaya, menguap dalam embun, larut bersama gerimis, terkikis debur ombak, lalu hilang ditelan malam.

   Seandainya kehidupan adalah naskah yang bisa kita tulis, Puisi. Maka semua bisa saja berakhir dengan berbeda. Yang tanpa air mata, dan derita. Dan kenangan yang kini tengah menghangatkan diri dengan meminum teh itu mungkin tubuhnya bisa lebih gemuk dari ini. Mungkin dia akan tersenyum tulus, pada waktu.

   "Andai kata, waktu dan jarak yang melatar belakangi semua ini bisi kuganti. Mungkin kita bertiga saat ini tengah tertawa bersama," ucapnya sebelum meminum lagi teh, lalu membakar rokok terakhir jatahku.

Bandung Barat, 2017

Pict by;  https://plus.google.com/u/0/photos/photo/109728286280444521078/6480186544483542050?icm=false&iso=true&sqid=108690291723879541191&ssid=bfb1e53e-136a-4890-b53c-ea311d342ec7




No comments:

Post a Comment