Friday 10 November 2017

Cerpen; Mendaur Ulang Sampah Menjadi Karya

Mendaur Ulang Sampah Menjadi Karya

   "Bubar! Bubar!" teriak seorang preman. Badannya yang tinggi menjulang dipenuhi tato di setiap centinya, tak ketinggalan, anting-anting tergantung di telinganya.

    "Sebentar, Kang Sasmi. Ini ada apa?" Pak RT dan aku segera berdiri, berusaha menenangkan. Mungkin saja ada sesuatu yang salah dalam perkumpulan yang kudirikan. Perkumpulan ibu-ibu PKK yang mendaur ulang sampah plastik dan kertas.

    "Saya tak suka perkumpulan ini, Pak! Mengganggu! Apa Bapak tak merasa, semenjak perkumpulan ini berdiri, ibu-ibu di kampung kita berubah!" Preman itu menunjuk-nunjukku, sambil berkacak pinggang.

    Warga sekitar yang sedang bekerja -- bapak-bapak di sekitar sini sedang membangun rumah, juga sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai pabrik kerupuk -- segera berdatangan, mendengar keributan. Pos PKK ini mendadak menjadi seperti pasar kaget.

    "Saya juga merasa ibu-ibu PKK sangat berubah. Dari mulanya banyak yang menggosip saat ada waktu luang, kini lebih produktif, memanfaatkan sampah-sampah menjadi barang yang lebih berguna."

    "Bukan itu, Pak! Yang saya dengar, saat bapak-bapak pulang kerja, mereka melihat rumah berantakan, tak ada makanan di meja makan, dan sang istri malah asik di sini."

    Kegeraman begitu tergambar di wajah lelaki garang itu. Urat-urat terlihat di pelipisnya, giginya bergemeretak, menahan amarah. Jari-jarinya mengepal, siap melayangkan tinju.

    "Apa benar itu, Ibu-ibu?

    Semua perempuan setengah baya itu menggelengkan kepala, namun hanya Bu Lasmi yang berani berkata, meski dengan gemetar. "Tidak benar itu, Pak. Ba-- bahkan, suami saya mendukung. Sekarang dia selalu bangun pagi-pagi dan membantu saya beberes rumah, mengantar anak-anak ke sekolah. Karena dia tahu,, saya mendapat bayaran dan membantu perekonomian keluarga." Lalu terdenga bisik-bisik mengiyakan. Pak RT dan semua warga yang datang kini menatap lagi Sang Preman.

.

    "Saya dapat kabar itu dari sebagian bapak-bapak yang bekertja, dan mengeluh seperti itu," teriaknya membela diri.

    "Kenapa mereka endak langsung menghadap ke saya? Malah ke Pak Sasmi?"

    "Mungkin mereka tak berani."

    "Saya tak galak padahal."

    "Hanya segan ...."

   "Jika itu mengganggu ketentraman pribadi, sangat salah jika hanya disimpan dalam hati."

   Lelaki itu bungkam kehabisan kata. Aku yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri angkat bicara, meskipun dengan dada amat gemetar.

    "Begini saja, Pak. Jika ada Bapak-bapak warga sini yang keberatan istrinya berada di sini, silahkan langsung jemput saja. Saya tidak akan menahan-nahan ...."

    "Ini semua gara-gara kamu, GOBLOK!!" Lengan kekar itu tiba-tiba saja telah mendarat di wajahku. Bibirku dibuat sobek karenanya. Sang preman ingin menghajarku lagi sebenarnya, namunpara warga yang datang berhasil menahannya.

   "Apa masalah sebenarnya, Pak Samin? Kenapa main pukul seperti itu, saya sebagai ketua RT jadi malu sama tamu kita."

   "Gara-gara perkumpulan ini tak ada pemasukan pada saya. Itu sangat tidak adil, Pak!" Lelaki itu pergi dengan semua kejengkelannya.

   Istri Pak RT membersihkan luka di bibirku, lalu menganjurkan pergi ke puskesmas.

   "Tak perlu, Bu. Dikasih obat merah juga nanti sembuh," ucapku sambil berusaha menahan sakit. Kuambil gawai dalam saku celana. Membuka watsapp dan mencari kontak Satria, temanku yang senang membuat patung berbentuk manusia.

   'Sat, di daerah yang sedang kugarap ada sampah masyarakat besar yang bisa jadi bahan. Mau dibungkus?' Segera kuketuk pilihan kirim, sambil memegang bibir yang terus berdarah.


 Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment