Tentang Kau dan Aksara
Kata-kata terus mengisi lembar demi lembar kertas. Semakin lama, semakin menumpuk. Ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku, tentang aksara yang berserakan di antara mataku.
'Haruskah aku melawan lupa, dengan berusaha terus mengingatnya? Nona, sejujurnya aku tak pernah rela berjarak denganmu meski sehasta. Kau adalah lautan yang hendak kupeluk. Kuingin -- sangat ingin, menapaskan namamu pada-Nya. Nona, sejauh kata yang bisa kurangkai, tak ada setitik celah tanpa namamu. Tapi, mungkin inilah yang disebut takdir.
Seberapa jauh jarak kutempuh
Sampan kukayuh
Hatiku merapuh
Aku tak pernah ingin kehabisan semua tentang dunia
Bukankah aksara pernah menyatukan kita?
Kita memang tidak pernah saling mencari, tapi pertemuan pertama dan selanjutnya telah memenuhi pikiranku. Nona, apakah keinginanku terlalu muluk untuk aku yang buruk?
Waktu pernah terbuai oleh pertemuan kita, hingga ia mabuk -- berjalan terburu-buru.
Masih bisa kudengar tawamu dari sini, meski benih di musim semi kali ini tak pernah tumbuh di dadamu.
Aku hanya bayangan bagimu, yang tak akan pernah menjadi nyata. Kau pernah bertanya, "Kita ini apa?"
Seberapa banyak waktu terukir, menegaskan garis-garis pada dindng takdir. Harus berakhir? Tidak! Aku tak ingin semua habis
Dua ekor merpati terbang di pikiranku. Kepaknya terdengar riuh pada telaga dada yang sunyi. Dapat kubayangankan, ribuan luka hendak menempel seperti hujan pada november. Namun, tak akan ada batu yang tak bisa kita loncati, selama kita bersama. Seberapa tinggi dan menjulangpun dia berdiri, kita pasti bisa lewati.
Bandung Barat, 2017
No comments:
Post a Comment