Friday 1 March 2019

Cerpen; Luka dan Waktu

 Luka dan Waktu


   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis kecil itu berharap lebih dewasa dari sebelumnya dan saat ini, segala kesakitannya dia pendam, di hati paling dalam.

   Ceroboh, sulit diatur, dan menatap banyak hal hanya dari satu sudut pandang. Begitu ia dahulu. Namun, satu hari nanti dimana ia akan pulang, gadis itu pasti akan menangis tersimpuh di kaki seseorang yang dipanggilnya mamah. Ah, dasar gadis bodoh. Menyembunyikan segala resah dalam kotak ingatan, menyimpannya jauh, di satu tempat yang semua orang tak dapat menyentuh.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Lihat tangan kecilnya yang kini tergores beberapa luka. Dia belajar memasak hanya karena rindu apa yang terlihat sederhana saat dulu, di rumahnya.


   "Tangannya kenapa? Bolong?"
   "Kecium *piso, Kak. Hehe."
   "Lidah gak bisa bo'ong, ya?"
   "Maksudnya, Kak?"
   "Lama di luar gak jadi pisau, atau knife gitu."
   "Huuuh, dasar!" Jemari lentiknya mencubit lenganku.
   "Dasar apa?"
   "Undang-undang dasar Negara ...."
   "Yeh, dasar aneh." Kurangkul tubuhnya, lalu menyimpan tangan di atas kepalanya.

   Kami berdua tertawa. Terlihat receh memang, tapi berkesan.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis itu ingin cepat pulang sebenarnya, tapi kenyataan masih tetap membuatnya berdiam. Kamar yang harusnya lebih terang, malah terasa temaram.

   "Kak, tadi aku telepon Mamah. Tahu gak berapa durasinya?"
   "Biasanya paling tiga, atau empat. Kan kamu gitu Non, kalo telepon orang rumah. Nyoba nahan tangis, biar dibilang kuat. Di depan aku aja, baru sesenggukan."
   "Jangan bikin bete deh, Kak!"
   "Idih ambekan. Pundung. Sini bentar." Aku mengacak rambutnya, atau lebih tepat jika dibilang membelai kerudungnya. "Berapa menit emang tadi nelpon orang rumah?"

   "Tujuh, Kak. Tujuh. Keren gak? Hihi."
  "Tumben, tapi pada sehat, kan?"
   Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Dia memang menyebalkan. Namun, di depanku sering kali manja seperti kesurupan. Halah.

   Jika saja tidak kuanggap adik dari dulu, mungkin telah kujitak kepalanya lebih dari seribu. Semuanya berjalan sederhana dan dipenuhi tawa. Hingga suatu hari, seseorang yang kupanggil 'Puisi' pergi. Aku masih ingat kata-kata yang diucapkannya, "Aku telah kehilanganmu Sam. Jadi, biarkan aku melupakanmu dengan indah, berdamai dengan seluruh kenangan, hingga tak ada setitik kebencian."

   Benar. Seseorang yang sering kali kusebut dalam doa, menjauh karena rasa kecewa. Semua terjadi karena gadis manja ini  menarik lengan dan memaksaku untuk menemaninya membeli sebuah buku. Tepat di depan seseorang yang kupanggil Puisi. Sial rasanya.

   "Non, kenapa gak bisa sabar? Kan dulu udah dibilang, nganter Puisi dulu ke perpustakaan."

   "Emang salah ya, Kak? Maaf. Bilang aja ke Tetehnya, nganter aku bisa kapan-kapan."
   "Tahu gak Non, masalahnya sebelah mana?"
   "Gak tahu."

   "Aku terlalu berharap kamu dewasa. Ternyata masih kaya dulu. Bocah."
   "Aku gak ngerti. Kak! Yah, malah ditinggalin."

   Kubiarkan semuanya berjarak, meninggalkan persahabatan yang pernah terbangun dengan baik retak, lalu perlahan luntur dan tanpa penjelasan. Mungkin itu membuat sang gadis manja kesepian. Namun, siapa peduli. Dia juga hanya berkata, 'Itu urusan kalian, aku gak ikutan.' saat kujelaskan situasi sebenarnya antara aku dan puisi.

   Terlalu kuat untuk disebut pecundang. Terlalu lemah untuk lama berpetualang. Gadis kecil itu benar-benar kesepian sekarang. Dia mungkin memperlihatkan tawa di antara kalian. Namun, jauh kesepiannya ia pendam, tak bisa terutarakan. Katanya, biar terlihat dewasa, tapi kenyataannya? Hanya sandiwara.

Bandung Barat, 2018

No comments:

Post a Comment