Thursday 6 June 2019

Cerpen; Bermain dengan Bayangan

   Taman kota selalu menjadi tempat paling aman menyimpan kenangan. Sebab di orang-orang dalamnya, tak akan pernah ada yang mau peduli, pada semua pertemuan, perpisahan, tatapan, dan perpisahan. Mereka yang ada di sana, hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Ardian Handoko, 05/02/2018

Bermain dengan Bayangan



   Kusedot dalam-dalam asap tembakau, meski seorang gadis di sampingku terus menceramahi dengan kata-kata seperti "Kamu harus bisa jaga kesehatan." atau "Dari pada dibakar, mending kamu tabung uangnya buat masa depan, Ar." Harus kuakui, sering aku mengikuti keinginannya, dengan catatan, dia juga harus mengikuti peraturanku. Semisal, aku mengurangi merokok, gadis itu mengurangi makan pedas, atau memperhatikan hal-hal kecil seperti sarapan. Permintaan yang kami keluarkan sebenarnya sama. Ingin mengubah kebiasaan buruk menjadi lebih baik.

   "Nay, buat apa sih kamu nyuruh Ardi mengurangi rokok, bahkan meminta berhenti?"

   "Buat kebaikan kamu, Ar. Juga buat kebaikan kita."

   "Kalo gitu, aku juga sama nyuruh kamu ngurangin makan pedes."

   "Aku gak banyak ngelanggar peraturan kaya kamu, Ar. Aku gak setiap hari makan pedes."

   "Yakin? Gimana Ardi bisa percaya kalo hampir setiap istirahat makannya baso terus. Lagi pula, bukan tentang sedikit atau banyak, tapi komitmen yang Naya pegang."

  "Iya-iya. Kok kamu jadi bawel mirip Bapak, sih?"

  "Mungkin karena Tuhan menyiapkan Ardi sebagai calon bapak  dari anak-anak Naya."

   Gadis berkerudung ungu itu diam. Dia malah meletakkan kepalanya di bahuku.

   "Nanti diusahain. Kamu juga harus ngikutin peraturannya. Janji!"

   Kuelus kerudungnya dengan lembut. Tak ada kata yang terucap, tetapi ada sesuatu yang rasanya menetap. Perasaan nyaman yang sulit diterjemahkan.

   Alun-alun kota hari ini terasa sangat cerah, tapi tidak sampai membuat gerah. Aku dan Naya sedang menunggu bis di bawah pohon beringin, dan perdebatan kecil itulah yang mengisi kekosongan obrolan kami. Konyol rasanya, memperdebatkan hal yang sebenarnya bisa dikurangi dengan kesadaran diri sendiri. Namun, kami memang belum bisa memperbincangkan hal besar, menikah misalnya, atau apa saja yang bisa kami diskusikan perihal membangun sebuah keluarga.

   Kami pengecut, jika harus membayangkan tentang  pernikahan. Bukan enggan mengutarakan dan mengharapkan, tapi kami berdua pernah hancur di masa silam. Gadis berkerudung itu dengan masa lalu tentang kegagalan study, aku dengan satu hal yang sangat pribadi.

   Bis yang kami tunggu akhirnya datang. Sedikit berhimpitan dengan  penumpang lain kami menaikinya. Maklum, mode transportasi ini sedang disukai oleh banyak kalangan, salah satunya adalah pasangan muda yang ingin memiliki waktu bersama lebih lama. Selain itu, kota kelahiranku sedang menggalangkan upaya untuk lebih memperdulikan lingkungan.

   Hanya tersedia satu tempat duduk yang kosong. Naya menatapku, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Ladies first, Ar."

   Kami lebih banyak diam dalam perjalanan, hanya mata yang lebih aktif memperhatikan. Ia sering tersipu malu, lalu mencubitku.

   "Jangan diliatin mulu! Terpesona aku gak tanggung jawab."

   "Kalo udah?"

   Senyumnya semakin melebar, dengan pipi kemerahan yang membuatnya merona.

   Sesekali bis berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Semakin jauh perjalanan kami, semakin sempit juga rasanya tempat yang kami miliki. Kali ini, ada seorang ibu-ibu muda yang sedang menggendong anak balita yang tidak kebagian kursi. Dengan sopan, Naya mempersilahkannya duduk, lalu berdiri di dekatku.

   "Udah mah cantik, baik juga si eneng. Jadi pengen dibawa pulang, boleh gak?"


Pict By : Punya Author pribadi




   Lagi-lagi sebuah cubitan mendarat di pinggangku. Kali ini lebih sakit dibanding biasanya. Entah kenapa.

   "Aku harap, suatu hari nanti pas aku lagi gendong bayi. Bakalan ada orang yang ngasih aku tempat duduk kaya gitu. Hukum karma itu berlaku loh, Ar. Lagi pula ..." wajahnya yang cantik itu kini tepat di depanku. "Sebelum aku dibawa pulang, lamar dulu."

   "Hahaha. Iya, nanti aku ke rumah."

   Lalu terasa tangan seseorang menepuk pundakku. Kondektur! Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan terakhir.

   "Nay, ayo tu ...."

   Naya tak ada di sampingku. Benar tebakan kalian, dia belum pernah ada di kehidupan nyataku. Gadis itu hanyalah imajinasi dari seseorang yang telah lama pergi dari hidupku.

Bandung Barat, 01/03/2019

No comments:

Post a Comment