Saat aku pura-pura hilang, dan kau tak merasa kehilangan
Jarak tak pernah menjauhkan kita, berbeda dengan rasa tak memiliki, Puisi
Kita terlalu sering berbicara tentang harga, pasar, dan hal-hal berat lainnya. Hingga kita sekarang lupa hal-hal ringan seperti "Apa kabar?"
Mengapa bukan hal yang mudah berteduh di lapangan? Mungkin karena kita tak saling melindungi. Atau mungkin, ego yang memayungi rasa gengsi
Kita tak perlu bertukar posisi, yang kita perlu hanya saling memahami
Kau bukan laut, aku bukan gunung, meski diam menjadikan sifat kita berdua sama
Semua hal di atas lupakan saja. Namun, berjanjilah jangan melupakanku. Bagaimana?
09/06/2018
Aku hanya ingin berhenti mencari namamu
Ketiadaanlah, yang mengukur seberapa kuat kita membutuhkan. Kebersamaan pula yang jadi neraca perhatian, bukan kata-kata.
Seseorang yang pergi, bisa saja tak akan kembali setelah menemukan tujuannya yang baru. Rumah, hanyalah sekumpulan kenangan dan masa depan yang terus dikejar.
Jangan berbicara rindu pada angin! Dia akan berlalu dan menyampaikannya pada semesta, semesta akan bercerita pada langit dengan berbisik-bisik, dan langit akan terisak menurunkan hujan. Menyebabkan tanah mengeluarkan aroma kegalauan.
Satu pertiga kehidupan adalah kesedihan, dan sisanya engkaulah yang memilih.
Yang air mata lakukan hanyalah turun, doalah yang pasti akan sampai menuju langit. Seperti ketika kau berbisik pada tanah saat bersujud.
Aku hanya berupaya melupakan namamu, yang terselip di semua tempat pada lipatan pikiranku.
Seseorang yang pergi, bisa saja tak akan kembali setelah menemukan tujuannya yang baru. Rumah, hanyalah sekumpulan kenangan dan masa depan yang terus dikejar.
Jangan berbicara rindu pada angin! Dia akan berlalu dan menyampaikannya pada semesta, semesta akan bercerita pada langit dengan berbisik-bisik, dan langit akan terisak menurunkan hujan. Menyebabkan tanah mengeluarkan aroma kegalauan.
Satu pertiga kehidupan adalah kesedihan, dan sisanya engkaulah yang memilih.
Yang air mata lakukan hanyalah turun, doalah yang pasti akan sampai menuju langit. Seperti ketika kau berbisik pada tanah saat bersujud.
Aku hanya berupaya melupakan namamu, yang terselip di semua tempat pada lipatan pikiranku.
Musim
Aku tak pernah mau menjadi hujan yang tersesat pada musim kemarau. Orang-orang menatapku aneh, membenciku dengan segala kutukannya. Membaca setiap tetes air, sebagai kesalahan.
Dan aku tak pernah mau menjadi musim yang tak pernah berhenti mengubah-ngubah wajah langit.
Sejatinya, aku tak bisa melihat warna kenangan yang sesungguhnya. Dulu, kupikir warnanya sepia, hitam, putih, atau jingga. Sebelum musim memperkenalkan kenangan padaku, bahwa warnanya bening. Kenangan bisa membias menjadi warna apa saja, tergantung cahaya yang meneranginya. Namun, aku tak pernah bermaksud mengetahuinya. Atau mungkin, aku yang benar-benar sudah tak peduli pada segalanya.
07/02
No comments:
Post a Comment