Saturday 18 January 2020

Cerpen; Lewat Mata Kita Berbicara



 Lewat Mata Kita Berbicara




   "Mata itu jendelanya hati, dan setiap orang yang peduli kepadamu, pasti dapat mengintip perasaanmu dari sana." Kata-kata itu kembali kepadaku, setelah menemukan seorang gadis pramuniaga cafe.

   Kalian mungkin selalu melihatnya tersenyum saat memberikan kopi itu ke meja kalian, tapi apakah kalian tahu, bahwa matanya selalu saja seperti itu, sayu, dan tidak ada sedikitpun lagi kegairahan di dalamnya. Dia pernah kehilangan segalanya, dan kini gadis itu bertekad untuk tak ingin memiliki apa pun lagi.

***
   Sedikit terang untuk mengungkapkan ini sudah malam, tapi waktu di tanganku menunjukan lebih dari cukup untuk menyatakannya. Ah, benar kata seseorang dari masa lalu, bahwa waktu bisa menjadi relatif dalam segala aspek. Terkadang, dia bisa menjadi siput, di lain tempat juga bisa secepat kilat.

   Baru sekali ini aku mengunjungi kota tempat gadisku berasal. Kota Tim, kota di mana salah satu impianku hidup dan tumbuh. Sekarang aku tengah menunggunya di cafe. Ada banyak muda-mudi yang sengaja meluangkan waktunya seperti kami untuk bertemu dan membicarakan banyak hal di sini. Namun, ada hal yang sama-sekali berbeda bagiku.

  Entah kenapa aku memperhatikan gadis pramusaji itu. Dia memang cantik, tetapi di hatiku ada yang terasa sangat mengganjal dari setiap tingkahnya. Ada roman yang sulit dijelaskan, pada setiap gerak dan tingkahnya. Aneh, kenapa aku menjadi memperhatikannya?

   Dia seperti pada umumnya pramusaji lain. Menuliskan pesanan, memintanya pada bartender atau koki, lalu menyajikannya untuk para tamu. Sesekali dia tersenyum menanggapi lelucon dari para pengunjung, tapi kuyakini senyumannya palsu.

   Suara musik yang mengalun hanya angin lalu. Telingaku sepi, dan mataku tak bisa lepas dari wajah gadis itu. Gadis pramusaji yang sedang menatap langit-langi cafe sambil terpejam. Ada yang tengah mengganjal hatinya, meskipun aku tak tahu apa.

  'Ar, aku akan sedikit terlambat sampai di sana. Tak apa kan? Maaf membuatmu menunggu, di sini aku terjebak hujan deras dan belum bisa melanjutkan perjalan. *Gomen.'

   Itu adalah pesan yang kuterima beberapa detik yang lalu dari kekasihku, Naya. Aku hanya membaca pesan itu, tanpa membalasnya. Fokus tentang Naya menjadi pecah, setelah aku melihat gadis pramusaji. Ingin rasanya menyapa dan membiarkannya duduk di sini menemaniku, tapi  rasanya mustahil. Dia sedang bekerja dan aku pasti di larang untuk mengganggunya.
   Sial rasanya terjebak dingin sendirian di tempat seramai ini.

   Tanpa di duga, gadis itu menghampiri dan duduk di sebelahku. Berbasa-basi sedikit lalu, meninggalkanku untuk melayani pelanggan lain yang datang. Jujur saja aku merasa gugup. Aku takut dia seperti diperhatikan lebih ---dalam artian yang buruk. Bisa saja dia mencurigaiku karena menatapnya terlalu lama.

   "Menunggu seseorang, kah? Boleh saya temani, Kak?"

  Bukan enggan menjawab, hanya saja ada yang sangat mengganjal di lidahku. Rasanya kami pernah bertemu. Rasanya kami pernah bercerita, tapi kapan? Aku tak mengenalnya, tapi kenapa rasanya seperti pertemuan yang ke berapa kali. Lelucon yang buruk, saat aku tak bisa menjelaskan siatuasi yang kuhadapi seperti ini.

   "Nunggu kamu beres melayani pelanggan, biar aku bisa ngobrol lama sama kamu."

   "Saya free di sini, Kak. Tenang." Gadis itu lalu memanggil teman pramusajinya yang lain. Berbisik, membicarakan entah apa. Namun, kupikir itu cukup untuk membuatnya terbebas sementara untuk tak mengerjakan beberapa hal.

   "Hanya perasaan saya, atau memang kita pernah bertemu, Kak? Rasanya sangat familiar dengan wajah Kakak. Maaf jika saya bicara langsung pada intinya."

   "Kenapa samaan, ya? Pernah ke kota Bi mungkin, dan kita papasan? Karena ini baru ke tiga kalinya aku ke kota Tim, dan baru pertama kalinya ke tempat ini."

   "Saya belum pernah keluar dari kota Tim, Kak. Aneh juga, ya. Mungkin ini yang dinamakan de javu? "

   "Tidak berlebihan sepertinya."


   Kami berdua lalu tertawa, meski itu hanya basa-basi belaka. Apakah waktu memang pernah mempertemukan, atau hanya perasaanku saja? Aku diselimuti perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan dengan kata, dan kewarasan yang ada. Kesialan macam apa ini?


***


   Hampir pukul satu pagi, dan Naya belum sampai ke tempat ini. Kemacetan macam apa yang membuat seseorang belum datang hingga selarut ini? Demo? Car free day? Atau mungkin yang lebih parah, macet di atas kasur?

   Perasaan macam apa yang bisa menjelaskan bahwa aku dan gadis pramusaji bisa sedekat ini? Padahal kami baru bertemu, baru pertama kali berbincang, dan kami bisa selepas ini menceritakan perihal luka. Dia dengan gamblangnya menjelaskan kesendirian yang selama ini ia nikmati. Gadis itu berkata, bahwa mata yang kumiliki sayu, mirip matanya. Jadi, kami berdua bisa saling memahami bahkan tanpa kata sekalipun.

   "Cafe ini milikku, Kak. Pemberian suamiku yang saat ini sedang berada di istri pertamanya. Aku tahu jalan yang kulalui salah, tapi cinta kadang setega itu menjerat hatiku dengan tangan besarnya."

  "Setiap orang pasti pernah salah, tapi yang terpenting adalah memperbaiki diri. Benar, kan?'

   Gadis pramusaji itu tersenyum, menggenggam tanganku. Ada semacam kepercayaan lebih yang ia berikan padaku. Ada banyak hal yang lolos dari logika, dan tak bisa dicerna.

  Ponselku berbunyi saat pesan dari Naya masuk. 'Maaf, Ar. Suamiku tak jadi pergi ke luar kota. Mohon maaf untuk segalanya. Tak apa, kan?'

  Benar, sekarang sudah tak apa Nay. Jika kamu lebih memilih suamimu, biarkan aku juga gadis pramusaji yang saat ini berada di pundakku.

 


Lewat Mata kita berbicara

Bandung Barat, 01/11/2019


No comments:

Post a Comment