Saturday 4 January 2020

Prosais; Lembar-lembar Penantian


 Perempuan yang Memeluk Sepi


  Biar kuceritakan lagi semua pada sang waktu. Karena hingga kini, kau masih berdiam sebagai sebuah puisi, dan aku seutas tali. Kita baru bisa menggantung impian di langit sana, dan berusaha sejalur untuk menggapainya. Aku sedang berusaha, aku sedang berusaha.

   Kita berdua menempuh malam-malam dingin dengan khitmat. Membaca doa-doa pengantar tidur sebagai pembuka mimpi yang ingin diwujudkan. Kita berdua tak berniat menjadi mentari, atau hujan, atau apa saja yang diinginkan saat ini. Kita berdua hanya berusaha menjadi kita yang sesungguhnya, hanya versinya jadi lebih baik.

   Terlebih, kita menyadari bahwa angan yang terlalu besar selalu menjadi sakit pada sabar. Menikamati senja, pagi, atau siang terang dengan rasa yang ada. Kita tak harus pura-pura selalu bahagia, kita hanya perlu berbicara tentang masalah yang sedang diderita. Terlebih, kita hanya satu kesatuan yang mengharap petunjuk darinya-NYA.

  Pernah suatu ketika, bulan tenggelam dalam kubangan sehabis hujan. Ia bersemayam pada jalanan retak yang tak pernah tau apa itu pembangunan. Kau membiarkannya begitu saja. Kau bilang masih nyaman dengan sepi, masih asik merayakan malam-malam panjang dengan kesendirian. Namun, yang terdengar di telingaku, kau masih menungguku yang asik menari di dekat api.

   Bulan itu padahal menyiapkan hangatnya pelukan, indahnya kebersamaan dan sebuah kata bernama cinta. Namun yang tanpa kita. Kau masih enggan merentangkan tangan dengan banyak pilihan hidup. Kau memperkecil kemungkinan dengan terjerat pada pembelaan-pembelaan. Membuatku bingung harus merasakan apa, tersenyum karena merasa berharga di hatimu, atau merasa brengsek membuatmu menunggu terlalu lama.

   Memang benar, aku ingin berbagi resah di pelukmu, merebahkan gundah, di antara bening matamu, tapi haruskah aku memberi makan ego lebih dari ini? Membiarkan kau menunggu dan memeluk dingin itu lebih lama.

   Luka dan sunyi itu seperti piring dipukul sendok, terus berdentang di malamku, dan rasa bersalah ini hampir menenggelamkanku dalam matamu.

Bandung Barat, 15/11/2019


Pict; Lembar-lembar Penantian



Sebuah Kisah Perihal Menunggu


  Perihal hidup yang angan, yang ingin, yang angin.  Atau perihal doa-doa panjang yang jadi aamiiin. Atau perihal hal-hal yang sudah lama hancur dan ingin diperbaiki kembali, dan entahya harus di mulai dari mana.

  Manusia selalu menjadi pendamba paling rapuh, yang mencintai dan berharap utuh. Atau berharap luka-luka itu sembuh, dengan obat paling ampuh. Ia berusaha mencintai orang lain dengan mengorbankan dirinya, atau mencintai dirinya dan mengorbankan orang lain. Mereka menjalin kisah yang rumit untuk diungkit, terlalu laknat untuk khianat, dan mati dengan mengucapkan selamat  saat sekarat.

  Aku, kamu, dan mereka yang melintas pada keabu-abuan. Yang mencoba duduk dengan sungguh, tapi tak berniat singgah. Menjadi segenap pelipur lara yang mengobati luka. Kita sama-sama mencari pengobatan penyakit bosan berada di kehidupan.

  Ada kalanya, kita tersenyum saat menangis, atau menangis dalam senyum. kita berusaha menjadi diri sendiri, memaklumi apa yang terjadi, dan mencari celah untuk tak kalah. Kita semua membiarkan ego memakan segalanya.

  Dan di titik ini, kita berusaha membiarkan takdir menarik apa yang hendak datang, dan membiarkan pergi apa yang tak ingin terjadi.

Bandung Barat, 15/11/2019

 

No comments:

Post a Comment