Perempuan yang Memeluk Sepi
Biar kuceritakan lagi semua pada sang waktu. Karena hingga kini, kau masih berdiam sebagai sebuah puisi, dan aku seutas tali. Kita baru bisa menggantung impian di langit sana, dan berusaha sejalur untuk menggapainya. Aku sedang berusaha, aku sedang berusaha.
Kita berdua menempuh malam-malam dingin dengan khitmat. Membaca doa-doa
pengantar tidur sebagai pembuka mimpi yang ingin diwujudkan. Kita
berdua tak berniat menjadi mentari, atau hujan, atau apa saja yang
diinginkan saat ini. Kita berdua hanya berusaha menjadi kita yang
sesungguhnya, hanya versinya jadi lebih baik.
Terlebih, kita menyadari bahwa angan yang terlalu besar selalu menjadi
sakit pada sabar. Menikamati senja, pagi, atau siang terang dengan rasa
yang ada. Kita tak harus pura-pura selalu bahagia, kita hanya perlu
berbicara tentang masalah yang sedang diderita. Terlebih, kita hanya
satu kesatuan yang mengharap petunjuk darinya-NYA.
Pernah suatu ketika, bulan tenggelam dalam kubangan sehabis hujan. Ia bersemayam pada jalanan retak yang tak pernah tau apa itu pembangunan. Kau membiarkannya begitu saja. Kau bilang masih nyaman dengan sepi, masih asik merayakan malam-malam panjang dengan kesendirian. Namun, yang terdengar di telingaku, kau masih menungguku yang asik menari di dekat api.
Bulan itu padahal menyiapkan hangatnya pelukan, indahnya kebersamaan dan sebuah kata bernama cinta. Namun yang tanpa kita. Kau masih enggan merentangkan tangan dengan banyak pilihan hidup. Kau memperkecil kemungkinan dengan terjerat pada pembelaan-pembelaan. Membuatku bingung harus merasakan apa, tersenyum karena merasa berharga di hatimu, atau merasa brengsek membuatmu menunggu terlalu lama.
Memang benar, aku ingin berbagi resah di pelukmu, merebahkan gundah, di antara bening matamu, tapi haruskah aku memberi makan ego lebih dari ini? Membiarkan kau menunggu dan memeluk dingin itu lebih lama.
Luka dan sunyi itu seperti piring dipukul sendok, terus berdentang di malamku, dan rasa bersalah ini hampir menenggelamkanku dalam matamu.
Pernah suatu ketika, bulan tenggelam dalam kubangan sehabis hujan. Ia bersemayam pada jalanan retak yang tak pernah tau apa itu pembangunan. Kau membiarkannya begitu saja. Kau bilang masih nyaman dengan sepi, masih asik merayakan malam-malam panjang dengan kesendirian. Namun, yang terdengar di telingaku, kau masih menungguku yang asik menari di dekat api.
Bulan itu padahal menyiapkan hangatnya pelukan, indahnya kebersamaan dan sebuah kata bernama cinta. Namun yang tanpa kita. Kau masih enggan merentangkan tangan dengan banyak pilihan hidup. Kau memperkecil kemungkinan dengan terjerat pada pembelaan-pembelaan. Membuatku bingung harus merasakan apa, tersenyum karena merasa berharga di hatimu, atau merasa brengsek membuatmu menunggu terlalu lama.
Memang benar, aku ingin berbagi resah di pelukmu, merebahkan gundah, di antara bening matamu, tapi haruskah aku memberi makan ego lebih dari ini? Membiarkan kau menunggu dan memeluk dingin itu lebih lama.
Luka dan sunyi itu seperti piring dipukul sendok, terus berdentang di malamku, dan rasa bersalah ini hampir menenggelamkanku dalam matamu.
Bandung Barat, 15/11/2019
Pict; Lembar-lembar Penantian |
Sebuah Kisah Perihal Menunggu
Perihal hidup yang angan, yang ingin, yang angin. Atau perihal doa-doa
panjang yang jadi aamiiin. Atau perihal hal-hal yang sudah
lama hancur dan ingin diperbaiki kembali, dan entahya harus di mulai dari mana.
Manusia selalu menjadi pendamba paling rapuh, yang mencintai dan
berharap utuh. Atau berharap luka-luka itu sembuh, dengan obat paling
ampuh. Ia berusaha mencintai orang lain dengan mengorbankan dirinya,
atau mencintai dirinya dan mengorbankan orang lain. Mereka menjalin
kisah yang rumit untuk diungkit, terlalu laknat untuk khianat, dan mati
dengan mengucapkan selamat saat sekarat.
Aku, kamu, dan mereka yang melintas pada keabu-abuan. Yang mencoba duduk
dengan sungguh, tapi tak berniat singgah. Menjadi segenap pelipur lara
yang mengobati luka. Kita sama-sama mencari pengobatan penyakit bosan
berada di kehidupan.
Ada kalanya, kita tersenyum saat menangis, atau menangis dalam senyum.
kita berusaha menjadi diri sendiri, memaklumi apa yang terjadi, dan
mencari celah untuk tak kalah. Kita semua membiarkan ego memakan
segalanya.
Dan di titik ini, kita berusaha membiarkan takdir menarik apa yang hendak datang, dan membiarkan pergi apa yang tak ingin terjadi.
Dan di titik ini, kita berusaha membiarkan takdir menarik apa yang hendak datang, dan membiarkan pergi apa yang tak ingin terjadi.
Bandung Barat, 15/11/2019
No comments:
Post a Comment