Thursday 2 January 2020

Cerpen; Seorang Gadis Patah Hati


 Seorang Gadis Patah Hati


   "Ingin rasanya lebih lama bersamamu, Kak. Namun, jika ini akhirnya, rasanya ... rasanya ...."

   Tangis menutup kalimat yang harusnya tak pernah gadis itu ucapkan. Ia masih meyakini tentang pilihannya. Ia masih mengharapkan lebih perihal seorang lelaki yang sangat dicintainya. Lelaki itu pernah menguatkan saat rapuh, mengajaknya bersiri saat terjatuh. Mengajarinya lagi tawa setelah kecewa.

   "Dasar bodoh!" Di sela tangisnya yang terisak, umpatannya terdengar serak. Terlambat gadis itu menyadari, ia telah jatuh bahkan tanpa nyeri. Terperangkap dalam senyuman yang begitu memabukkan.

  "Dia cuman sok dewasa, gak pernah mikirin aku, egois, meyebalkan dan ..., dan ..., aku mencintainya."

   Kembali ia mengingat semua hal tentang si lelaki. Senyumannya, caranya berbicara, dan caranya diam ketika marah. Terkadang menyebalkan, egois, pengatur. Jadi bagaimana bisa ia mengambil hati yang selama ini terkunci? Bagaimana ia bisa membobol, lalu membawanya?

   Sebelumnya, gadis itu hanya menganggap si lelaki biasa saja. Ia berpikir bahwa datang dan pergi memang sebuah kewajaran, hingga tak perlu terlalu dalam mencintai. Agar kelak, ketika waktu telah memisahkan, gadis itu masih bisa mengucapkan selamat dengan senyuman.

   "Kak, aku suka." Terdengar lirih tanpa kepercayaan. Air mata berjatuhan, dan perlahan ia terlelap. Entah masuk ke dalam mimpi, atau kesedihan yang ia pendam sendiri.

***

   Awan menutup segala bentuk cahaya matahari agar tak sampai ke bumi. Hujan mengetuk kaca jendela, mengantarkan setipa kenangan pada para pemiliknya yang sengaja diacuhkan. Berusaha dilupakan.

   Sebuah pesan masuk lewat sebuah aplikasi ke dalam gawainya. Di sana muncul nama seorang lelaki yang dikenalnya. Rudi. Gadis yang sedang melambungkan imajinasinya jauh sembari menatap kaca berembun itu segera membuka, lalu membaca pesannya. Susah lama sekali ia tak mendapatkan pesan dari Rudi. Ada beberapa hal yang menyebabkan mereka berdua renggang, mereka berdua tau ada yang salah, tapi tak berani meminta maaf dengan segenap rasa bersalah.

   (+) Non, Rudi masih punya hutangkan, ya? Boleh gak, sangat berbeda dengan yang dijanjikan?
   (-) Tentu aja, Kak. Kukira kakak lupa
   (-) tapi jangan dengan hal sedih
   (-) eh, tapi terserah deh
   (+) Emang selain sedih dan romance, tulisan apa yang Rudi bisa?
   (-) Em ... gak tau hehehe
   (-) terserah aja deh. Aku mau ngerjain dulu beberapa tugas. Mau ketemu jam berapa?
   (+) Sore. Di tempat biasa
   (-) Oke kak

   Gadis itu segera menghabiskan kopi yang masih tersisa, menutup layar gawainya. Ia ingin menghilangkan kekakuan di antara mereka, menciptakan suasana hangat yang sudah lama pudar. Hingga ruang dan waktu yang sering kali memisakan tak berarti apa-apa. Namun, ia pun menyadari posisinya saat ini. Jika ia terlalu memaksa, dan salah bertindak, hubungan ini bisa retak

   Meski terkadang bersikap tak dewasa, tetapi sebenarnya ia telah mengambil beberapa kewajiban yang tak semua orang seusia dengannya bisa melakukannya.

   Kesehariannya sangat tak mudah, bahkan bisa dibilang sangat melelahkan. Ia berusaha melakukannya sebaik mungkin, untuk menjawab beberapa omongan miring tentang dirinya.

   Beberapa ketukan pintu, membuatnya berhenti sejenak.

   "Iya?"

   "Kak Ame, tolong segera turun. Yona sama Sagara harus segera ke sekolah."
   "Kakak segera turun, maaf membuat Yona menunggu."

   Ia lalu teringat pada beberapa keponakan yang dicintainya. Ia lalu berpikir, apakah ia akan diingat sebagai  bibi yang baik, atau sebaliknya? Tak terasa, beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Panas, sesak, tapi ini adalah jalan hidup yang telah gadis itu pilih. Ia segera menghapus air matanya, dan bergegas turun.

***

  (+) Rudi sudah di taman
  (-) Maaf jika harus menunggu agak lama. Boleh?
  (-) masih ada pekerjaan, hehe
  (+) siap

   Rudi menarik napas berat. Dia tahu hadiah ini akan menyakiti gadis itu. Namun, ada banyak hal yang harus laki-laki itu ceritakan, dan berhenti menyembunyikan. Kejujuran mesti diungkapkan, meski berisi kepahitan sekalipun.

   Ditatapnya langit. Awan-awan mulai berjalan bergandengan, tapi angin membuat celah di antara mereka. Hingga terpisah dan harus saling merelakan.

  "Ini keputusan terbaik. Jika aku benar-benar menganggapnya adik, dan berharap ia bersikap lebih dewasa. Tolong mengerti, Ame," ucapnya berbisik pada diri sendiri.

   "Maaf membuat kakak menunggu."
   "Santai, Non. Rudi lagi free kok."

   Canggung. Sesampainya gadis itu di taman, ia langsung duduk di samping Rudi. Mereka berdua hanya terbatas sekat besi sejengkal. Taman kota sengaja membuat bangku taman seperti itu agar para muda-mudi yang sedang melakukan pendekatan tidak terlalu berhimpitan.

   "Silahkan dibaca. Maaf jika tak sesuai ekspektasi dan juga agak lama, hehe."

   "Gakpapa, Kak. Terima kasih. Aku baca dulu, ya?"

   Angin berhembus, suara orang-orang lalu lalang, dan kalkson kendaraaan menjadi lattar yang memecah kejanggalan di antara mereka. Rudi bisa melihat, ada raut muka yang berbeda dari gadis di sampingnya. Ia sudah tahu pasti akan seperti ini, dan menunggu kemarahan Ame.

   "Jadi begitu, ya?" Ame berdiri, lalu melangkah menjauh dari lelaki yang mengisi lamunanya beberapa purnama terakhir. Gadis itu tak bisa lagi berpikir tenang setelah membaca tulisan yang diserahkan Rudi. Ada air mata yang memaksa untuk jatuh ke pipinya.

   "Dasar bodoh!" gerutunya pada diri sendiri. Dia sadar telah melakukan sebuah kesalahan dengan tak mengakui perasaannya selama ini. Namun, haruskah perbuatan itu dibalas secepat ini.



 Sedikit menikam untuk diceritakan
Namun, terlalu berdarah untuk disimpan sendirian
Aku tahu kamu kuat dan selalu berusaha menjadi yang kamu inginkan
jadi, sebelum kamu membaca tulisan ini sampai akhir
aku mohon ...
agar pertemanan ini terjalin hingga akhir.

Ada jalanan sepi yang mulai
dilupakan. Tak ada lagi pejalan yang mau
melewatinya. Takdir membuatnya kesepian.

Waktu merambat menggerayangi kalender 
bergambar tak senonoh toko emas.
Kini jalanan itu telah diubah menjadi rumah
sederhana. Ia telah dimiliki.
Ia menerima takdirnya, sebagaimana langit
menerima hujan dan panas bergantian

Kamu dan beberapa orang lain, serupa pejalan
yang berharap bisa menemukan jalanan sepi.
Aku adalah jalanan itu sendiri.


Mei, 2019



No comments:

Post a Comment