Apa Warna Kenangan Sebenarnya?
Aku menemukan pagi meringkuk di depan teras. Dia
sedang menunggu sinar matahari, tetapi awan malah iseng menutupinya. Atau
mungkin, matahari sedang sendu, hingga tak ada warna cokelat tanah, langit tak
pula berwarna biru. Di mataku, semuanya terlihat abu-abu.
Secangkir kopi, sampah plastik makanan ringan,
dan beberapa potong bulan di atas piring, sisa cemilan tadi malam. Aku yakin,
siapa pun tak akan melihat bulan baik esok, atau hari-hari selanjutnya di atas
langit. Sebab, bulan yang hanya satu itu, kini tinggal sisa-sisa.
Tadi malam, beberapa sobekan cerita keluar dari
mulut kami. Mengungkap banyak kisah, antara kenang dan harapan, antara sedih
dan beberapa tawa. Bahasanya terlihat hitam, putih, abu atau terkadang merah
dan warna-warna lainnya. Namun, ada satu hal yang masih begitu menarik
perhatianku. Apa warna kenangan sebenarnya?
Sudah lama aku mencari-cari jawaban yang tepat
untuk menjawab pertanyaan itu. Aku pernah bertanya pada angin yang asyik
menggoda bunga-bunga, pada matahari yang sedang memeluk mesra awan-awan, pada
hujan yang kerap bernyanyi lagu kesedihan, juga pada bayangan dirimu yang kerap
datang saat malam-malam. Namun, tak ada satu pun jawaban yang memuaskan. Tak
ada.
Aku bertaruh dengan dua buah dadu. Di dunia ini
tak ada yang mengetahui apa warna kenangan yang sesungguhnya. Aku yakin itu,
sangat yakin malah. Namun, aku salah. Jawaban perihal warna kenangan datang
begitu saja. Berjalan menghampiri, menepuk pundakku, lalu mengajak berbincang
seperti seorang teman lama yang telah lama tak kutemui.
"Ardi?"
"Anna?"
Kami berdua lalu bersalaman. Sesekali dia menepuk
bahu, sedangkan aku terus mengamati garis wajahnya yang terlihat tak ada beda.
Hanya terlihat lebih cantik dan dewasa. Anna adalah seorang teman di masa
sekolah. Dulu, kami sangat jarang berkomunikasi --dalam artian, aku dan dia
hanya berbicara seperlunya. Dari matanya hari ini, aku melihat sesuatu yang
hendak tumpah, seperti air mata yang menemukan muara.
Awan yang tersesat itu menangis keras, air
matanya turun basahi kota ini. Aku dan Anna pun duduk di bangku pojok halte,
sekadar berbincang masa lalu dan hal-hal yang pernah kami simpan lama.
Ada yang menari-nari dari binar matanya. Sebuah
perasaan yang dapat kutebak akan melangkah ke mana, seperti petualang yang
hendak pulang, atau orang-orang yang menemukan jalan baru yang selama ini sulit
untuk ditemukan.
"Semakin tinggi kamu sekarang, Di."
Senyum di bibirnya merekah. "Dulu mau hapus papan tulis aja perlu naik
bangku."
Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, sambil
tertawa. Warna kenangan yang semerah hidung badut itu menggelitik kepala kami,
membuat kami sedikit bernostalgia.
"Kalo terus pendek, aku bakalan susah buat
menggapai seseorang, Ann."
Raut wajahnya berubah aneh, dan tiba-tiba saja
tangannya mencubit bahuku.
"Kamu udah beda jauh, gak kaya dulu. Masa
sekolah kamu kaya batu yang cuman diem aja, jarang respon dengan teman kelas,
dan malah asik memperhatikan situasi. Padahal kamu tuh pinter, dan banyak orang
yang naksir sama kamu."
Kenangan kembali mengubah warna. Bermetamorfosis.
Tak hanya itu, ia juga mengubah bentuk jadi kupu-kupu, lalu mengitari kami
berdua. Anna banyak menunjukan hal-hal yang selama ini luput dari pandanganku
tentang teman-teman sekolah, hal-hal selain pelajaran, juga perasaan beberapa
orang.
"Ada banyak temen sekolah yang dulu nyimpen
perasaannya ke kamu, tahu."
Mendengar kalimat itu, kenangan di sekitar kami
lenyap begitu saja. Dan bodohnya aku yang hanya memasang muka tak mengerti.
Mungkin di penglihatannya, benar-benar konyol.
"Seperti kamu bilang, Ann, aku ini pendiem,
cuek, bahkan terkesan angkuh. Meskipun pada beberapa kejadian, saat aku serius
malah jadi bahan tertawaan yang bikin suasana sekelas tiba-tiba meledak. Aku
yang salah denger tentang itu, atau kamu yang salah ngucapin? Atau cinta monyet
memang selucu itu?"
Perempuan itu memukul kepalaku pelan, meski tidak
sakit, itu cukup untuk menjelaskan bahwa 'Perasaan bukan buat lelucon buruk
kaya gitu, Ardi.' Mungkin itu, mungkin juga bukan.
"Itu keunikan kamu, yang orang lain gak
pernah punya. Di kelas kita dulu, Zumi, Viola, Feby, dan aku pernah berebut
teman tugas bahasa Indonesia yang dikasih sama Bu Ismi. Inget gak? Yang tentang
dialog."
"Jadinya, yang aku sama Rindu?"
"Nah itu, seandainya kamu pilih salah satu
dari nama tadi, pasti bakalan pecah kongsi deh di kelas haha. Kalo inget itu
rasanya masih ngenes aja, meskipun sekarang ditambah perasaan sedikit agak
lucu."
Awan yang menangis perlahan-lahan berhenti. Dia
sedikit tenang, lalu berjalan ke arah utara pelan-pelan. Reda. Hujan kali ini
hanya menyisakan jalanan basah, juga beberapa ingatan yang kembali segar
setelah sebelumnya layu, dalam pikiranku.
Kami harus berpisah, sebab jika terlalu lama di
sini, akan ada banyak hal-hal terlewat yang akan kembali kami ceritakan. Bukan
tak perlu, hanya saja, waktu telah banyak berlalu. Dan kami berdua tak mungkin
bisa kembali ke sana, seberapa ingin pun.
"Aku sudah punya suami sekarang, sayang
sekali. Aku pernah nyari kamu di banyak tempat, berharap ada sebuah
kemustahilan yang benar-benar akan terjadi. Berharap kamu juga punya setitik
aja perasaan itu. Setitik aja, biar aku yang ngebesarinnya hingga memenuhi dada
kamu."
Perempuan itu mengecup pipiku, lalu berniat
pergi. Namun, sebelum itu terjadi. Kutahan tangannya, kusentuh pipinya dengan
lembut, dan tangannya yang lain menyentuh tanganku. Mata kami beradu sejenak,
sebelum sama-sama terpejam.
Photo by Anni Roenkae from Pexels
|
***
Di langit kamarku, kenangan bergerak lincah,
senang sekali mengubah-ngubah bentuk dan warna. Meskipun kini sedikit kupahami,
sedikit warna aslinya. Ia terlalu sering bersembunyi pada emosi lain. Pada
perasaan kecewa, marah, sedih, atau gema tawa. Kenangan adalah gelas kaca
bening, yang diisi emosi dari perasaanmu.
Sepasang tangan memelukku erat dari belakang
sesaat, mengecup pipiku, lalu berdiri dan mengenakan pakaian. Di depan cermin,
ia mengulas lipstik dan merapikan rambutnya yang berantakan.
"Mau kuantar pulang, Ann?"
"Tak perlu, Di. Lagi pula itu bisa
menimbulkan banyak pertanyaan di pikiran suamiku nanti."
"Ann, mmm ... apa kamu merasa bersalah,
setelah kita melakukan itu?"
"Tentu saja, aku juga tahu itu dosa
besar." Perempuan itu mencium bibirku lembut, sebelum melanjutkan
kata-katanya. "Dosa yang sangat kucintai, dosa yang sangat indah."
Anna mengaitkan tas kecil ke bahunya, lalu
berjalan ke arah pintu. Namun, terhenti sebelum memegang pegangannya.
"Bolehkan aku sesekali mampir ke sini
lagi?"
"Tentu, Ann. Hanya saja, kuharap kau memberi
kabar terlebih dahulu. Kau mungkin akan tahu, seberapa ramainya teman-temanku
jika sudah berkumpul."
"Dasar pemalu," ucapnya pelan, lalu
tanpa pamit lagi dia pulang, menuju pelukan suaminya.
Kutatap kaca jendela yang tirainya terbuka.
Bintang-bintang terlihat berbeda tanpa bulan, mereka terlihat kebingungan. Aku
sendiri kembali memikirkan kenangan. Kali ini bukan perihal warnanya, melainkan
seberapa banyak kenangan yang bisa kuciptakan bersama Anna, di sisa-sisa
hidupku.
Bandung Barat, 07/02/2020
No comments:
Post a Comment