Saturday 27 June 2020

Cerpen; Apa Warna Kenangan Sebenarnya?

Apa Warna Kenangan Sebenarnya?


Aku menemukan pagi meringkuk di depan teras. Dia sedang menunggu sinar matahari, tetapi awan malah iseng menutupinya. Atau mungkin, matahari sedang sendu, hingga tak ada warna cokelat tanah, langit tak pula berwarna biru. Di mataku, semuanya terlihat abu-abu.

Secangkir kopi, sampah plastik makanan ringan, dan beberapa potong bulan di atas piring, sisa cemilan tadi malam. Aku yakin, siapa pun tak akan melihat bulan baik esok, atau hari-hari selanjutnya di atas langit. Sebab, bulan yang hanya satu itu, kini tinggal sisa-sisa.

Tadi malam, beberapa sobekan cerita keluar dari mulut kami. Mengungkap banyak kisah, antara kenang dan harapan, antara sedih dan beberapa tawa. Bahasanya terlihat hitam, putih, abu atau terkadang merah dan warna-warna lainnya. Namun, ada satu hal yang masih begitu menarik perhatianku. Apa warna kenangan sebenarnya?

Sudah lama aku mencari-cari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Aku pernah bertanya pada angin yang asyik menggoda bunga-bunga, pada matahari yang sedang memeluk mesra awan-awan, pada hujan yang kerap bernyanyi lagu kesedihan, juga pada bayangan dirimu yang kerap datang saat malam-malam. Namun, tak ada satu pun jawaban yang memuaskan. Tak ada.

Aku bertaruh dengan dua buah dadu. Di dunia ini tak ada yang mengetahui apa warna kenangan yang sesungguhnya. Aku yakin itu, sangat yakin malah. Namun, aku salah. Jawaban perihal warna kenangan datang begitu saja. Berjalan menghampiri, menepuk pundakku, lalu mengajak berbincang seperti seorang teman lama yang telah lama tak kutemui.

"Ardi?"

"Anna?"

Kami berdua lalu bersalaman. Sesekali dia menepuk bahu, sedangkan aku terus mengamati garis wajahnya yang terlihat tak ada beda. Hanya terlihat lebih cantik dan dewasa. Anna adalah seorang teman di masa sekolah. Dulu, kami sangat jarang berkomunikasi --dalam artian, aku dan dia hanya berbicara seperlunya. Dari matanya hari ini, aku melihat sesuatu yang hendak tumpah, seperti air mata yang menemukan muara.

Awan yang tersesat itu menangis keras, air matanya turun basahi kota ini. Aku dan Anna pun duduk di bangku pojok halte, sekadar berbincang masa lalu dan hal-hal yang pernah kami simpan lama.

Ada yang menari-nari dari binar matanya. Sebuah perasaan yang dapat kutebak akan melangkah ke mana, seperti petualang yang hendak pulang, atau orang-orang yang menemukan jalan baru yang selama ini sulit untuk ditemukan.

"Semakin tinggi kamu sekarang, Di." Senyum di bibirnya merekah. "Dulu mau hapus papan tulis aja perlu naik bangku."

Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, sambil tertawa. Warna kenangan yang semerah hidung badut itu menggelitik kepala kami, membuat kami sedikit bernostalgia.

"Kalo terus pendek, aku bakalan susah buat menggapai seseorang, Ann."

Raut wajahnya berubah aneh, dan tiba-tiba saja tangannya mencubit bahuku.

"Kamu udah beda jauh, gak kaya dulu. Masa sekolah kamu kaya batu yang cuman diem aja, jarang respon dengan teman kelas, dan malah asik memperhatikan situasi. Padahal kamu tuh pinter, dan banyak orang yang naksir sama kamu."

Kenangan kembali mengubah warna. Bermetamorfosis. Tak hanya itu, ia juga mengubah bentuk jadi kupu-kupu, lalu mengitari kami berdua. Anna banyak menunjukan hal-hal yang selama ini luput dari pandanganku tentang teman-teman sekolah, hal-hal selain pelajaran, juga perasaan beberapa orang.

"Ada banyak temen sekolah yang dulu nyimpen perasaannya ke kamu, tahu."

Mendengar kalimat itu, kenangan di sekitar kami lenyap begitu saja. Dan bodohnya aku yang hanya memasang muka tak mengerti. Mungkin di penglihatannya, benar-benar konyol.

"Seperti kamu bilang, Ann, aku ini pendiem, cuek, bahkan terkesan angkuh. Meskipun pada beberapa kejadian, saat aku serius malah jadi bahan tertawaan yang bikin suasana sekelas tiba-tiba meledak. Aku yang salah denger tentang itu, atau kamu yang salah ngucapin? Atau cinta monyet memang selucu itu?"

Perempuan itu memukul kepalaku pelan, meski tidak sakit, itu cukup untuk menjelaskan bahwa 'Perasaan bukan buat lelucon buruk kaya gitu, Ardi.' Mungkin itu, mungkin juga bukan.

"Itu keunikan kamu, yang orang lain gak pernah punya. Di kelas kita dulu, Zumi, Viola, Feby, dan aku pernah berebut teman tugas bahasa Indonesia yang dikasih sama Bu Ismi. Inget gak? Yang tentang dialog."

"Jadinya, yang aku sama Rindu?"

"Nah itu, seandainya kamu pilih salah satu dari nama tadi, pasti bakalan pecah kongsi deh di kelas haha. Kalo inget itu rasanya masih ngenes aja, meskipun sekarang ditambah perasaan sedikit agak lucu."

Awan yang menangis perlahan-lahan berhenti. Dia sedikit tenang, lalu berjalan ke arah utara pelan-pelan. Reda. Hujan kali ini hanya menyisakan jalanan basah, juga beberapa ingatan yang kembali segar setelah sebelumnya layu, dalam pikiranku.

Kami harus berpisah, sebab jika terlalu lama di sini, akan ada banyak hal-hal terlewat yang akan kembali kami ceritakan. Bukan tak perlu, hanya saja, waktu telah banyak berlalu. Dan kami berdua tak mungkin bisa kembali ke sana, seberapa ingin pun.

"Aku sudah punya suami sekarang, sayang sekali. Aku pernah nyari kamu di banyak tempat, berharap ada sebuah kemustahilan yang benar-benar akan terjadi. Berharap kamu juga punya setitik aja perasaan itu. Setitik aja, biar aku yang ngebesarinnya hingga memenuhi dada kamu."

Perempuan itu mengecup pipiku, lalu berniat pergi. Namun, sebelum itu terjadi. Kutahan tangannya, kusentuh pipinya dengan lembut, dan tangannya yang lain menyentuh tanganku. Mata kami beradu sejenak, sebelum sama-sama terpejam.



Photo by Anni Roenkae from Pexels


***



Di langit kamarku, kenangan bergerak lincah, senang sekali mengubah-ngubah bentuk dan warna. Meskipun kini sedikit kupahami, sedikit warna aslinya. Ia terlalu sering bersembunyi pada emosi lain. Pada perasaan kecewa, marah, sedih, atau gema tawa. Kenangan adalah gelas kaca bening, yang diisi emosi dari perasaanmu.

Sepasang tangan memelukku erat dari belakang sesaat, mengecup pipiku, lalu berdiri dan mengenakan pakaian. Di depan cermin, ia mengulas lipstik dan merapikan rambutnya yang berantakan.

"Mau kuantar pulang, Ann?"

"Tak perlu, Di. Lagi pula itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan di pikiran suamiku nanti."

"Ann, mmm ... apa kamu merasa bersalah, setelah kita melakukan itu?"

"Tentu saja, aku juga tahu itu dosa besar." Perempuan itu mencium bibirku lembut, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Dosa yang sangat kucintai, dosa yang sangat indah."

Anna mengaitkan tas kecil ke bahunya, lalu berjalan ke arah pintu. Namun, terhenti sebelum memegang pegangannya.

"Bolehkan aku sesekali mampir ke sini lagi?"

"Tentu, Ann. Hanya saja, kuharap kau memberi kabar terlebih dahulu. Kau mungkin akan tahu, seberapa ramainya teman-temanku jika sudah berkumpul."

"Dasar pemalu," ucapnya pelan, lalu tanpa pamit lagi dia pulang, menuju pelukan suaminya.

Kutatap kaca jendela yang tirainya terbuka. Bintang-bintang terlihat berbeda tanpa bulan, mereka terlihat kebingungan. Aku sendiri kembali memikirkan kenangan. Kali ini bukan perihal warnanya, melainkan seberapa banyak kenangan yang bisa kuciptakan bersama Anna, di sisa-sisa hidupku.

Bandung Barat, 07/02/2020

No comments:

Post a Comment