Tuesday 16 June 2020

Cerpen : Demi Sebuah Bukti

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_16

#NomorAbsen_302

Jumkat : 498 kata

Demi Sebuah Bukti

 

    Sekelompok orang berteriak kegirangan setelah membunuh, memerkosa, atau memotong-motong bagian tubuh manusia lain tanpa merasa bersalah. Darah berceceran dan mayat bergelimpangan di mana-mana. Kengerian tak hanya sampai di situ. Di beberapa tempat yang tampak dari kejauhan, asap membubung tinggi, suara jerit dan pekik yang terdengar lirih.

 

    Lelaki itu terus memerhatikan keadaan dengan saksama. Telinga dan matanya semakin awas, ia sangat tahu bahwa keteledoran, sekecil apa pun itu, akan membuatnya mati mengenaskan seperti mayat-mayat itu, tetapi ini adalah jalan yang telah dipilihnya untuk ditempuh. Ia tak boleh kembali sebelum mendapatkan data yang dibutuhkannya untuk sebuah perdebatan tentang sebuah genosida Rwanda. Jika para profesor angkuh yang menertawakannya mengetahui berbagai cerita dari buku-buku dan orang-orang yang berhasil melewati neraka ini. Maka ia harus mendapatkannya lewat berada langsung di tempat sejarah kelam itu.

 

    Ada sesuatu yang tidak masuk akal dikatakan para profesor itu. Namun, mereka mempunyai bukti fisik berupa sebuah foto hitam putih, sedangkan lelaki itu hanya memiliki sanggahan berupa argumen-argumen. Lelaki itu merasa bahwa foto itu hanya editan, tetapi ia tak memiliki cukup bukti untuk membantahnya.

 

    Hingga sebuah keberuntungan datang menghampirinya. Anggita, teman perempuannya dari jurusan lain menemukan sebuah benda aneh di gudang kampus. Setelah diselidiki, ternyata benda itu adalah mesin waktu yang telah selesai dibuat, tetapi belum pernah ada bukti pernah digunakan. Lelaki itu merasa tertarik untuk kembali ke masa penuh gejolak di salah satu daerah di Afrika itu. Setelah menyetel tanggal ke 7 april 1994, lelaki itu bersiap untuk pergi. Sempat ditahan oleh Anggita, tetapi keinginannya telah bulat.


    “Kamu tahu itu sangat berbahaya, Ga? Kenapa masih mau pergi ke sana?”


    “Sebagai manusia yang terus mencari kebenaran, kita selalu mencari bukti empiris, bukan? Jika kamu mengkhawatirkanku, doakan saja, ya?”


    Mereka berdua berpelukan,  sebelum akhirnya lelaki itu menekan tombol untuk pergi ke masa lalu.


    Ia merangkak di antara ilalang dengan napas tersengal-sengal. Telinganya terus berusaha menangkap suara langkah kaki, jerit, apa pun yang bisa membahayakan nyawanya. Jantungnya berdebar kencang, keringat mengucur deras. Di bawah tatapan bulan, lelaki itu berdoa, berharap tak ada yang menemukannya, sambil mengambil beberapa foto.

 

    Hingga sampailah lelaki itu di sebuah rumah di sisi sungai. Ia melihat sekeliling lewat celah-celah batang ilalang. “Sepertinya aman,” bisiknya pada diri sendiri. Ia berdiri, lalu mengintip siapa saja yang ada di sana lewat jendela, sebab sedari tadi terdengar suara seseorang yang menangis tertahan.

 

    Seorang gadis kecil tengah meringkuk di lantai tanah, rambut sebahunya sangat kusut, baju yang dikenakan pun mengkhawatirkan. Lelaki itu merasakan takut, tetapi rasa iba mampu mengalahkannya. Ia merasa harus bisa menyelamatkan si gadis. Dengan berjinjit, lelaki itu berusaha masuk lewat pintu depan. Tanpa lelaki itu sadari, seseorang melihat siluetnya dalam gelap.

 

    Baru saja lelaki itu akan membangunkan si gadis kecil, sebuah serbuan telah terjadi. Orang-orang dari suku Hutu telah mengepungnya dengan berbagai macam senjata. Ia menyadari bahwa ini adalah akhir hidupnya. Mati dengan cara mengenaskan, di masa lalu.

 

    Ia mengingat lagi foto itu, seseorang lelaki yang koyak dengan berbagai benda tajam menghunjam tubuhnya. Pakaian yang digunakannya sama persis dengan lelaki itu. Bagi lelaki itu, semuanya tetap tak masuk akal.

 

Bandung Barat, 16/06/2020

 

 

No comments:

Post a Comment