Wednesday 10 June 2020

Cerpen ; Hikayat Musafir Tua

 Hikayat Musafir Tua


Nama musafir satu itu adalah cinta. Ia selalu melakukan perjalanan jauh, dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski dengan tubuh ringkihnya yang telah digerus waktu, ia tetap menjalankan kewajiban. Mencoba menanamkan cinta dan harapan pada manusia, walaupun banyak orang yang tak membutuhkannya sekarang.

Ia lahir ketika Adam bertemu Hawa dan masih hidup hingga hari ini. Hidup selama itu membuatnya mengenal banyak nama dan tempat, juga tentang rahasia dan kejadian yang kerap luput di mata manusia. Telah banyak disaksikannya pertemuan dan perpisahan, yang terkadang ia ingat-ingat kembali, lalu diceritakannya berulang-ulang.

Deru napasnya sekarang mirip seperti mobil tua tak terurus yang dipaksa melaju di sebuah tanjakan. Ia terengah-engah, menarik napas dengan berat. Tak ada lagi dada bidang dan lapang yang dulu ia miliki, sebab tempatnya kini harus tergantikan dengan kebencian, iri, dan kedengkian. Lagi pula, cinta akhir-akhir ini hanya dianggap mitos belaka. Tak ada lagi sekolah yang mempelajarinya sebagai ilmu wajib yang harus dikuasai,  malah diganti pelajaran tentang nominal-nominal yang tiada habisnya. Tak terhingga.

Ketika sampai di sebuah gunung yang tinggi dan terlihat angkuh, ia tersenyum, membungkukkan badan, lalu mengucap salam.

Gunung yang tahu suara siapa itu, segera menoleh dan mendapati Sang musafir sedang duduk sambil tersenyum. Tiba-tiba saja, gunung itu bersimpuh di kakinya. Menangis tersengguk. Air  mata mengalir membuat mata air yang keluar dari tubuhnya keruh.

Musafir tua hanya tersenyum, sambil mengelus punggung gunung. Memintanya duduk dan menceritakan apa hal yang membuat ia sesedih itu. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu, hanya dengan menyaksikan apa yang terlihat begitu jelas di depan matanya.

"Tuan barang tentu sudah tahu apa yang terjadi pada Hamba. Namun, sudilah kiranya mendengarkan keluh kesah ini."


Sumber gambar : Pexels.com


Gunung mulai menceritakan kesedihannya. Tentang kakinya yang kerap terasa digelitiki manusia (mungkin rasanya seperti kesemutan bagi manusia, mungkin) yang kerap berlalu lalang. tentang punggungnya yang sakit karena dikeruk isinya. Tentang rambutnya yang dulu hijau dan cantik, kini gundul dan berdebu. Di akhir ceritanya, gunung itu meminta bantuan musafir tua untuk mengingatkan kembali manusia agar peduli padanya.

"Saya usahakan," ucap musafir tua sambil menahan batuk. Udara gunung kini penuh debu, sudah tak segar lagi. Biasanya, ia akan mengeluarkan banyak nasihat dan petuah tentang kesabaran, tetapi kini tidak lagi. Mulutnya terasa kelu.

Musafir tua itu pamit untuk melanjutkan perjalanannya, meninggalkan gunung yang kembali berdiri dan bersikap angkuh. Membayangkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang membuatnya bergidik ngeri.

"Maafkan Hamba yang tak bisa memberikan bekal kali ini."

"Tak apa, Gunung. Saya juga mengerti." Musafir tua itu tersenyum, mengaitkan kain ke pundaknya, lalu berjalan menuruni lereng. Beberapa manusia yang berpapasan dengannya acuh, tak memedulikannya.

Nama musafir tua ringkih itu tetap cinta, tak peduli matanya mulai rabun, atau telinganya mulai tuli. Ia akan tetap memakai nama itu. Ia menyadari benar bahwa waktunya mungkin tak akan lama lagi. Usianya telah habis digerogoti tahun-tahun panjang yang penuh dengan berbagai warna.

Baru beberapa kilometer musafir tua itu berjalan. Samar-samar, terdengar jerit dari sebuah sungai yang badannya hitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Melihat Sang musafir, sungai malah menaikan suaranya, mengubah jerit kesakitannya jadi sumpah serapah dan umpatan-umpatan yang memekakkan telinga.

"Tuan Musafir, Tuan Musafir. Tolong saya! Manusia-manusia biadab itu terus memaksa saya untuk memakan limbah dan sampah. Tuan lihatkan bagaimana tubuh saya sekarang? Dengan warna hitam dan bau yang menjijikan ini tak ada gadis-gadis yang mau mencuci pakaiannya di tubuh saya. Tak ada lagi anak-anak yang senang bermain-main dengan saya. Ikan-ikan yang saya pelihara juga mati. Sungguh Tuan, tolong saya."

"Saya usahakan." Lagi, hanya kalimat itu yang terucap dari mulutnya. Tanpa basa-basi musafir tua itu kembali melanjutkan perjalanan. Meskipun, jeritan sungai masih sesekali memasuki telinganya. Ngilu.

Nama musafir tua itu tetap cinta. Walaupun sudah kehilangan kewibawaannya di hadapan manusia, ia tetap memakai nama itu. Tak akan pernah berubah. Meskipun namanya hanya digunakan sebagai buah kata yang menyembunyikan nafsu, ia tak akan pernah malu.

Di bawah pohon pete besar ia beristirahat. menyandarkan tubuhnya yang sudah rapuh, agar tak terlalu dipanggang matahari. Pohon pete berusia ratusan tahun itu berusaha melunakan batangnya agar tak menyakiti sang musafir tua, sambil berbisik memanggil para angin. Pohon pete itu tak ingin sampai musafir tua terus merasa kegerahan.

"Barangkali manusia telah lupa menyimpan hati dan nurani, hingga kusaksikan setiap manusia mengangkat senjata unutk mengenyahkan peperangan yang telah mereka mulai sendiri. Hingga setiap manusia mengangkat kata untuk membenci, mencaci, menghakimi, atau menelanjangi keburukan orang lain, tanpa mau memahami dan lebih mengerti. Bersumpah atas nama kebaikan, padahal tak lebih dari akal bulus untuk mendapatkan uang atau jabatan. Hidup kusaksikan tak lebih berharga dari kotoran, sumpah serapah, atau maklumat para manusia laknat," ucapnya pada pohon pete. Pohon pete itu hanya bisa mengangguk-angguk dengan takjim, mendengarkannya. Mirip seperti anak kecil yang didongengkan orang tuanya sebelum tidur.

Musafir tua itu mengingat-ingat masa lalu. Saat ia masih muda, masih fasih berbicara serta  memiliki tubuh tegap. Ia kerap mendongengkan hal-hal baik untuk melembutkan hati anak-anak, agar mengenal kata peduli dan cinta. Mengajak orang-orang merangkul, bukan memukul. Mencintai tanpa pandang bulu dan saling memahami. Mengayomi serta berdiskusi, dibanding memaki atau membenci. Namun, para manusia sekarang sudah pandai berdebat, dan tak pernah mau mendengarkan nasihat-nasihatnya.

Ia lalu mengingat kembali kata-kata tanah longsor dan banjir yang pernah ditemuinya, di masa-masa yang telah lalu.

"Manusia sekarang lebih memperhatikan perbuatan dibanding nasihat, maka dari itu kami -- tanah lonsor dan banjir -- akan memberikan peringatan pada mereka agar lebih peduli."

Pak tua ringkih itu menyadari, lalu memulai mengambil ranting kayu sebagai senjata. Di usianya yang semakin tua, ia jelas meyakini bahwa mati bisa kapan saja menghampiri. Sebelum itu terjadi, ia akan memilih usaha yang mungkin mustahil baginya. Namun, ia berpikir bahwa itu lebih baik dari pada duduk diam dan terpuruk saja. Banyak harapan dari nama-nama yang dikenal berada di pundaknya.

"Tuan sekarang hendak ke mana?"

"Saya akan melakukan pekerjaan yang selama ini tak pernah saya lakukan, Pohon. Saya akan memukul kepala-kepala manusia yang sudah keras itu."

"Maksud Tuan ikut berperang? Hamba mohon, jangan pernah melakukan itu."

"Saya akan berusaha semampunya untuk menegakan perasaan yang harus ada di dada manusia-manusia itu," ucapnya sambil berusaha berdiri dengan tubuh ringkih, juga napas yang terdengar lirih. Berlari menuju medan pertempuran yang tak mungkin dia menangkan.

Nama musafir tua itu tetap cinta. Walau tak ada yang mengenang dan mendoakannya. Ia akan tetap menggunakan nama itu. Tak ada tugu penghormatan untuk semuanya jasa-jasanya, tak ada yang tahu di mana jasadnya dimakamkan. Tak pernah ada. Tak pernah.

Bandung Barat, 16/02/2020


 

No comments:

Post a Comment