Hikayat Musafir Tua
Nama musafir satu itu adalah
cinta. Ia selalu melakukan perjalanan jauh, dari satu tempat ke tempat lainnya.
Meski dengan tubuh ringkihnya yang telah digerus waktu, ia tetap menjalankan
kewajiban. Mencoba menanamkan cinta dan harapan pada manusia, walaupun
banyak orang yang tak membutuhkannya sekarang.
Ia lahir ketika Adam bertemu
Hawa dan masih hidup hingga hari ini. Hidup selama itu membuatnya mengenal
banyak nama dan tempat, juga tentang rahasia dan kejadian yang kerap luput di
mata manusia. Telah banyak disaksikannya pertemuan dan perpisahan, yang
terkadang ia ingat-ingat kembali, lalu diceritakannya berulang-ulang.
Deru napasnya sekarang mirip
seperti mobil tua tak terurus yang dipaksa melaju di sebuah tanjakan. Ia
terengah-engah, menarik napas dengan berat. Tak ada lagi dada bidang dan lapang
yang dulu ia miliki, sebab tempatnya kini harus tergantikan dengan kebencian,
iri, dan kedengkian. Lagi pula, cinta akhir-akhir ini hanya dianggap mitos
belaka. Tak ada lagi sekolah yang mempelajarinya sebagai ilmu wajib yang harus
dikuasai, malah diganti pelajaran tentang nominal-nominal yang tiada
habisnya. Tak terhingga.
Ketika sampai di sebuah gunung
yang tinggi dan terlihat angkuh, ia tersenyum, membungkukkan badan, lalu
mengucap salam.
Gunung yang tahu suara siapa
itu, segera menoleh dan mendapati Sang musafir sedang duduk sambil tersenyum.
Tiba-tiba saja, gunung itu bersimpuh di kakinya. Menangis tersengguk. Air
mata mengalir membuat mata air yang keluar dari tubuhnya keruh.
Musafir tua hanya tersenyum,
sambil mengelus punggung gunung. Memintanya duduk dan menceritakan apa hal yang
membuat ia sesedih itu. Meskipun sebenarnya ia sudah tahu, hanya dengan
menyaksikan apa yang terlihat begitu jelas di depan matanya.
"Tuan barang tentu sudah
tahu apa yang terjadi pada Hamba. Namun, sudilah kiranya mendengarkan keluh
kesah ini."
Sumber gambar : Pexels.com |
Gunung mulai menceritakan
kesedihannya. Tentang kakinya yang kerap terasa digelitiki manusia (mungkin rasanya
seperti kesemutan bagi manusia, mungkin) yang kerap berlalu lalang. tentang
punggungnya yang sakit karena dikeruk isinya. Tentang rambutnya yang dulu hijau
dan cantik, kini gundul dan berdebu. Di akhir ceritanya, gunung itu meminta
bantuan musafir tua untuk mengingatkan kembali manusia agar peduli padanya.
"Saya usahakan,"
ucap musafir tua sambil menahan batuk. Udara gunung kini penuh debu, sudah tak
segar lagi. Biasanya, ia akan mengeluarkan banyak nasihat dan petuah tentang
kesabaran, tetapi kini tidak lagi. Mulutnya terasa kelu.
Musafir tua itu pamit untuk
melanjutkan perjalanannya, meninggalkan gunung yang kembali berdiri dan
bersikap angkuh. Membayangkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang
membuatnya bergidik ngeri.
"Maafkan Hamba yang tak
bisa memberikan bekal kali ini."
"Tak apa, Gunung. Saya
juga mengerti." Musafir tua itu tersenyum, mengaitkan kain ke pundaknya,
lalu berjalan menuruni lereng. Beberapa manusia yang berpapasan dengannya acuh,
tak memedulikannya.
Nama musafir tua ringkih itu
tetap cinta, tak peduli matanya mulai rabun, atau telinganya mulai tuli. Ia
akan tetap memakai nama itu. Ia menyadari benar bahwa waktunya mungkin tak akan
lama lagi. Usianya telah habis digerogoti tahun-tahun panjang yang penuh dengan
berbagai warna.
Baru beberapa kilometer musafir
tua itu berjalan. Samar-samar, terdengar jerit dari sebuah sungai yang badannya
hitam dan mengeluarkan bau tak sedap. Melihat Sang musafir, sungai malah
menaikan suaranya, mengubah jerit kesakitannya jadi sumpah serapah dan
umpatan-umpatan yang memekakkan telinga.
"Tuan Musafir, Tuan
Musafir. Tolong saya! Manusia-manusia biadab itu terus memaksa saya untuk
memakan limbah dan sampah. Tuan lihatkan bagaimana tubuh saya sekarang? Dengan
warna hitam dan bau yang menjijikan ini tak ada gadis-gadis yang mau mencuci
pakaiannya di tubuh saya. Tak ada lagi anak-anak yang senang bermain-main
dengan saya. Ikan-ikan yang saya pelihara juga mati. Sungguh Tuan, tolong
saya."
"Saya usahakan."
Lagi, hanya kalimat itu yang terucap dari mulutnya. Tanpa basa-basi musafir tua
itu kembali melanjutkan perjalanan. Meskipun, jeritan sungai masih sesekali
memasuki telinganya. Ngilu.
Nama musafir tua itu tetap
cinta. Walaupun sudah kehilangan kewibawaannya di hadapan manusia, ia tetap
memakai nama itu. Tak akan pernah berubah. Meskipun namanya hanya digunakan
sebagai buah kata yang menyembunyikan nafsu, ia tak akan pernah malu.
Di bawah pohon pete besar ia
beristirahat. menyandarkan tubuhnya yang sudah rapuh, agar tak terlalu
dipanggang matahari. Pohon pete berusia ratusan tahun itu berusaha melunakan
batangnya agar tak menyakiti sang musafir tua, sambil berbisik memanggil para
angin. Pohon pete itu tak ingin sampai musafir tua terus merasa kegerahan.
"Barangkali manusia telah
lupa menyimpan hati dan nurani, hingga kusaksikan setiap manusia mengangkat
senjata unutk mengenyahkan peperangan yang telah mereka mulai sendiri. Hingga
setiap manusia mengangkat kata untuk membenci, mencaci, menghakimi, atau
menelanjangi keburukan orang lain, tanpa mau memahami dan lebih mengerti.
Bersumpah atas nama kebaikan, padahal tak lebih dari akal bulus untuk
mendapatkan uang atau jabatan. Hidup kusaksikan tak lebih berharga dari
kotoran, sumpah serapah, atau maklumat para manusia laknat," ucapnya pada
pohon pete. Pohon pete itu hanya bisa mengangguk-angguk dengan takjim,
mendengarkannya. Mirip seperti anak kecil yang didongengkan orang tuanya
sebelum tidur.
Musafir tua itu
mengingat-ingat masa lalu. Saat ia masih muda, masih fasih berbicara
serta memiliki tubuh tegap. Ia kerap mendongengkan hal-hal baik untuk
melembutkan hati anak-anak, agar mengenal kata peduli dan cinta. Mengajak
orang-orang merangkul, bukan memukul. Mencintai tanpa pandang bulu dan saling
memahami. Mengayomi serta berdiskusi, dibanding memaki atau membenci. Namun,
para manusia sekarang sudah pandai berdebat, dan tak pernah mau mendengarkan
nasihat-nasihatnya.
Ia lalu mengingat kembali
kata-kata tanah longsor dan banjir yang pernah ditemuinya, di masa-masa yang
telah lalu.
"Manusia sekarang lebih
memperhatikan perbuatan dibanding nasihat, maka dari itu kami -- tanah lonsor
dan banjir -- akan memberikan peringatan pada mereka agar lebih peduli."
Pak tua ringkih itu menyadari,
lalu memulai mengambil ranting kayu sebagai senjata. Di usianya yang semakin
tua, ia jelas meyakini bahwa mati bisa kapan saja menghampiri. Sebelum itu
terjadi, ia akan memilih usaha yang mungkin mustahil baginya. Namun, ia
berpikir bahwa itu lebih baik dari pada duduk diam dan terpuruk saja. Banyak
harapan dari nama-nama yang dikenal berada di pundaknya.
"Tuan sekarang hendak ke
mana?"
"Saya akan melakukan
pekerjaan yang selama ini tak pernah saya lakukan, Pohon. Saya akan memukul
kepala-kepala manusia yang sudah keras itu."
"Maksud Tuan ikut
berperang? Hamba mohon, jangan pernah melakukan itu."
"Saya akan berusaha
semampunya untuk menegakan perasaan yang harus ada di dada manusia-manusia
itu," ucapnya sambil berusaha berdiri dengan tubuh ringkih, juga napas yang
terdengar lirih. Berlari menuju medan pertempuran yang tak mungkin dia
menangkan.
Nama musafir tua itu tetap
cinta. Walau tak ada yang mengenang dan mendoakannya. Ia akan tetap menggunakan
nama itu. Tak ada tugu penghormatan untuk semuanya jasa-jasanya, tak ada yang
tahu di mana jasadnya dimakamkan. Tak pernah ada. Tak pernah.
Bandung Barat, 16/02/2020
No comments:
Post a Comment