Tuesday 30 June 2020

Cerpen : Perempuan yang Berusaha Tersenyum

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_09
#NomorAbsen_302
Jumkat : 457

Perempuan yang Berusaha Tersenyum



    Aku mematung di depan cermin. Menatap lekat semua yang ada di sana. Mata panda yang jauh dari kata memesona, bibir tipis pucat, juga hidung yang tidak proporsional. Sungguh, lelaki mana yang akan bertahan dengan perempuan macam aku? Mereka hanya memerdulikan kehangatan sesaat, sebelum akhirnya menghilang. Cuih! Dasar bangs*t!

    Kusentuh pipi yang mengembang, mencubitnya, dan membayangkan, seandainya wajahku bisa menjadi tirus. Mungkin, aku akan lebih cantik. Mungkin, akan ada seseorang yang dengan sukarela menjaga, mengayomi, mengasihi, dan mencintai. Menjadi tempat mencurahkan segalanya, hingga jasad berkabung tanah, hingga napas dilumat pasrah.

    Sekali lagi, kutatap cermin itu. Kugerai rambut panjang ke depan dada. Sebenarnya aku tidak seburuk itu, kulitku memang hitam, tetapi saat tersenyum akan lahir lesung pipi yang tampak manis.

    Nyanyian malam keluar dari mulut burung hantu, bulan menggantung lunglai di langit kelam, dan pikiranku mulai bercabang, membayangkan banyak kemungkinan ketika masa muda yang pernah kunikmati tak salah pilih jalan. Seandainya ... seandainya ....

    Khayalku makin tinggi, menyentuh segenap angan-angan yang dulu terlihat cemerlang, sebelum akhirnya jatuh terjerembab di lubang kesesatan. Memang benar, semua kesialan ini akibat dosa yang kulakukan di masa remaja, tetapi tak pantaskah aku meminta sedikit saja keringanan, agar ada bahu untuk bersandar? Atau semua lelaki memang berpikir, perempuan sepertiku adalah mainan yang hanya disayang saat dibutuhkan, lalu mencampakkan saat tak diinginkan?

Photo by Rahul from Pexels


    Ingin aku teriakan segala kekesalan ini, mengeluarkan binatang-binatang dan caci maki. Namun, semua itu tak berguna, semua mimpi buruk ini telah terjadi dan tak mungkin bisa kuulang kembali. Segalanya telah kasip. Sauh telah dilepas, kapal yang kunaiki tak bisa tertambat kembali.

    Suara benda pecah belah berdenting di telingaku. Aku bisa kembali mengingat dengan jelas, bagaimana orang tuaku mengutuk, menunjuk-nunjuk, melempar beberapa benda, lalu mengusirku tanpa sedikit pun rasa menerima. Mereka bilang aku aib. Mereka bilang sebuah kesalahan telah melahirkanku.

    Terdengar dengkuran halus di belakangku, membuat lamunan yang sedang kuselami buyar. Jika bukan karena anak kecil itu, aku mungkin tak akan melalui kesedihan ini seorang diri. Mungkin, aku masih memiliki kehidupan normal. Aku berdiri dan berjalan mendekati ranjang, memperhatikan wajah damainya, menyelusuri wajahnya dengan jari.

    Tadi siang, Jane--anakku--memintaku agar esok datang ke sekolahnya dalam acara “Ayahku Pahlawanku”. Ada yang ingin menyeruak dalam dada. Kuambil gunting di atas meja, lalu memejamkan mata. Aku sudah pasrah atas segalanya.

***

    Pagi mengetuk pintu rumah dengan jemari cahaya. Membuatku terjaga dan membuka mata. Jane menatapku beberapa kali tak percaya. Mungkin, semua perubahan yang kulakukan tadi malam sangat mengganggunya.

    "Ada apa sayang?"

    "Maafkan Jane, Mah."

    Aku memeluk tubuh kecilnya, mencium rambut hitamnya, dan mengelus-elus punggungnya.

    "Bukan salahmu, Nak. Yang seharusnya dimaafkan itu Mamah, karena belum mampu membahagiakanmu. Sekarang kamu mandi ang bersih, kita berangkat ke sekolah sama-sama. Soal rambut Mamah yang dipotong jangan khawatir, Mamah memang sedang ingin mencoba berambut pendek."

    Gadis kecilku termenung sebentar, sebelum memasuki kamar mandi.

Bandung Barat, 09/06/2020



No comments:

Post a Comment