Tuesday 30 June 2020

Cerpen : Sebuah Perbincangan

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_20
#NomorAbsen_302
Jumkat : 518 kata


Sebuah Perbincangan


    Kubuka pintu rumah kaca itu dengan dada berdebar-debar, menghirup napas dalam, lalu melangkah hati-hati. Sebab, ada sesuatu yang aneh dengan isi wasiat Ayah. Ada sesuatu tak masuk akal yang harus kukerjakan di ruangan ini. Apa yang harus kulakukan dengan nasi dan lauk pauknya bersama tanaman-tanaman ini? Apa Ayah menyimpan seorang manusia? Perempuan atau laki-laki? Atau jangan-jangan, Ayah menyembunyikan selingkuhannya di sini? Atau jangan-jangan ....

    Pertanyaan-pertanyaan lain terus turun bagai hujan dan aku harus memayungi pikiran agar tak jatuh pada kecurigaan. Semoga prasangka buruk itu tak pernah terjadi, agar sosok Ayah yang kukenal hampir sempurna itu tidak berubah. Agar pandanganku tentangnya tetap saja seperti itu.

    Di mataku, Ayah adalah seorang politisi keren yang jujur, rendah hati, dan ringan tangan untuk membantu sesama. Ia selalu membuka mata dan telinga untuk masyarakat, mengayomi, mendidik, serta merangkul semua kalangan tanpa pandang bulu. Selain itu, Ayah juga seorang kolektor benda antik dan penggila tanaman hias. Meskipun harus kuakui, Beliau terkadang bersikap sedikit aneh dan nyeleneh. Ia kerap memakai celana kolor pendek dan kaos putih saja saat menerima beberapa tamu, menghindari beberapa makanan berbahan hewan, serta yang paling aneh, ia kerap begadang di rumah kaca ini, sebelum esoknya mengadakan rapat. Aku sangat merindukan sosok Beliau.

    Aroma sedap malam menusuk hidungku seperti salam pertemuan. Lampu telah dinyalakan sedari tadi, mataku berkeliling. Barangkali, ada sesuatu yang mencurigakan atau yang akan mengejutkanku. Namun, hasilnya nihil. Semua tempat hanya di isi oleh tanaman, tak ada yang lain. Mawar, melati, sedap malam, dan beberapa tanaman lain yang dibentuk bonsai. Ketika masih hidup, Beliau sering mengajakku ke sini, walaupun tak pernah malam-malam.

    Aku mencoba mengingat-ingat kembali pesan Ibu. “Simpan makanan itu di meja paling ujung di sudut barat, dekat tanaman kantong semar. Jika ada sesuatu yang terjadi di luar nalarmu. Jangan berlari! Kamu harus tetap tenang menghadapinya.”




    Oke-oke. Aku harus tetap tenang. Namun, apa maksudnya sesuatu di luar nalar? Sedikit terburu-buru, menata makanan ke atas meja, lalu kusimpan pantat di atas kursi dari tunggul kayu yang ada di sana, memperhatikan tanaman yang memiliki kantong sebagai ciri khasnya.

    Apa harus, aku isi kantong itu satu-satu?

    “Tak perlu, Nak. Saya bisa makan sendiri. ”

    Sebelum aku menjawab kalimat itu, tiba-tiba saja, kantong-kantong tanaman itu menggabungkan diri menjadi sebuah sosok. Sosok yang tak asing bagi pecinta pewayangan, dengan tubuh bulat dan kulitnya yang berwarna hitam legam. Suaranya terdengar lembut, bersahaja, tetapi kharismatik.

    Andai tak ingat pesan Ibu, aku pasti sudah lari tunggang langgang. Semar di hadapanku hanya tersenyum, membagikan nasi dan lauk pauknya ke atas piring, lalu menyuruhku untuk makan bersamanya.

    Perasaanku kini campur aduk. Takut, khawatir, resah, sedih, dan yang lainnya. Namun, Semar hanya tersenyum saja, sambil menikmati hidangan di atas meja. Aku melihat keteduhan sosok Ayah dari matanya.

    Ia berhenti mengunyah, lalu menepuk punggungku beberapa kali. “*Sing sabar, cing tawakal. Jodo, pati, bagja, cilaka geus aya nu ngaturna. Urang mah ngan saukur dititah usaha jeung narima,” ucapnya menasihati. Sekali lagi, ia menyuruhku makan. Kali ini aku menurut.

    Malam semakin dalam dan gelap. Ditemani salah satu sosok punakawan itu, aku membagikan resah yang ada. Kuceritakan semua kegundahan hati hingga reda. Dan, kami berdua tenggelam pada perbincangan tentang kesedihan, sampai pagi datang menjeda.


Bandung Barat, 20/06/2020

Catatan : *Yang sabar, yang tawakal. Jodoh, maut bahagia musibah sudah ada yang mengatur. Kita hanya disuruh berusaha dan nerima



No comments:

Post a Comment