Tuesday 30 June 2020

Cerpen : Salah Membaca Mantra

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_25
#NomorAbsen_302
Jumkat : 830 kata


Salah Membaca Mantra


    Kudengarkan derit suara pintu terbuka dari jauh, disusul bunyi derap langkah yang cepat. Kami mencoba berkonsentrasi agar bisa menemukan dari mana arah datangnya. Namun, terasa nihil. Suara yang bergema menjadikannya terdengar seperti datang dari berbagai arah.

    Kami berempat saling membelakangi. Mencoba menembakkan cahaya senter ke depan untuk memastikan, dari arah mana hantu itu datang. Jantungku berdegub cepat, serta deru napas yang sudah tak bisa diatur lagi. Aku tak ingin mati di sini. Tidak!

    Tiba-tiba saja tempat ini jadi hening. Hening yang ganjil. Bulu kudukku meremang, terasa ada sesuatu yang menetes dari atas. Hampir bersamaan, kami mendongak, mengarahkan senter ke atas kepala.

    Rambut panjang yang menjuntai menutupi setengah wajahnya yang rusak. Nanah dan darah menetes tak henti-henti dari bibirnya. Dengan posisi kepala di bawah, hantu itu terlihat siap menerkam. Kami segera berlari ke luar sambil berteriak ketakutan.

    Setelah sampai di halaman, aku menengok ke belakang. Terlihat dua orang yang tergopoh-gopoh mengikuti. Hanya dua orang? Deri ke mana? Aku mengutuk dalam hati. Bimbang, antara menjemputnya ke dalam atau berdiam saja di sini.

    Sebuah teriakan yang memilukan terdengar dari dalam. Aku merasa harus bertanggung jawab pada mereka, sebab ini adalah kesalahanku yang telah mengajak mereka untuk uji nyali di sini. Kutarik napas berat, berusaha menyingkirkan segala ketakutan, lalu mulai melangkah.

***

    Bulan retak tertusuk ranting kering. Pecahan cahayanya berhamburan, jatuh ke setiap tempat yang terbuka. Jalanan sepi, tanah yang lapang, juga rumah tua berlantai dua di hadapan kami. Bintang-bintang menghilang hingga langit terasa lenggang. Dan, di sini. Kami siap mengeksekusi rencana yang sudah matang.

    Kami mengecek peralatan kembali. Senter, kamera, juga menyiapkan beberapa bungkus bunga dan dupa. Malam ini, kami hendak merekam segala aktifitas mahkluk astral di rumah ini, dan membuatnya menjadi konten. Menurut kesaksian banyak orang, rumah di depan kami ini dihuni oleh banyak sosok mahluk, tetapi yang paling terkenal adalah hantu merangkak.

    Awalnya kami tertawa mendengar nama hantu itu. Membayangkannya seperti bayi atau tokoh pahlawan laba-laba. Namun, setelah mendengar penuturan beberapa orang yang telah mencoba bermalam di sana, kami menyimpulkan sesuatu. Bahwa semua akan berjalan menarik.

    Orang-orang menyebut rumah itu vila kenanga. Bangunan bertingkat yang sudah tak terurus itu memang terlihat sangat menakutkan. Bangunannya terbengkalai, rumput-rumput liar tumbuh subur. Berjarak tidak jauh dari perumahan tempat kami tinggal. Berada di sebelah kanan aliran sungai yang cukup dalam dan agak sedikit menjorok ke dalam hutan.


Photo by Mike Yakaites from Pexels


    Kami sekarang sedang berada di ruang tengah. Setelah menyalakan kamera, Deri yang bersila di depan sesajen langsung mengucapkan jampi-jampi yang telah dicarinya di daring, sambil membakar dupa. Angin berembus ganjil, membawa aroma berbagai rupa, menyebabkan aku sedikit mual. Suara-suara aneh mulai bermunculan, hingga bulu kudukku berdiri. Kami berkeliling menyebarkan asap dupa, memancing datang mereka yang tak kasat mata.

    Satria dan Heru terlihat sangat tidak nyaman. Terbukti dengan tangan dan tubuh mereka yang gemetar. Namun, sudah tak ada jalan kembali. Sekarang, kami harus berada di sekitar sini sampai pagi menjelang, sebab ada sebuah pantangan. Mereka yang melanggar itu akan kehilangan salah satu anggota badannya atau menjadi gila, bahkan mati. Maka kami memutuskan, Aku dan Heru di lantai atas, sisanya di lantai bawah.

    Aroma amis menyengat langsung menusuk hidungku saat memasuki lantai kedua. Di sini ada terlihat ada tiga ruangan yang lumayan besar. Semua ruangan sudah tak memiliki langit-langit, debu yang menempel tebal, juga sarang laba-laba. Kami langsung menelusurinya satu persatu. Sedari tadi, aku sudah mengucapkan banyak kata di depan kamera, mendeskripsikan apa yang terasa, terdengar, meski belum ada penampakan apa pun.

    Tiba-tiba Heru memegang ujung bajuku dan menyinari sebuah ruangan paling pojok. Jika dilihat dari tata letaknya, ruangan itu adalah kamar mandi. Sebuah kepala dengan mata yang menyala menyembul beberapa kali, lalu menghilang. Aku berusaha mendekat, tetapi lelaki di belakangku terus menahan-nahan. Mungkin ia takut terjadi sesuatu.

    Setelah menenangkannya, kami berdua masuk ke ruangan itu, memperhatikan sekeliling, dan tak ada apa-apa. Aku menarik napas dalam. Antara bersyukur dan tidak. Hingga suara gemeretak menyadarkan kami, bahwa beberapa hantu melihat dengan mata memburu sedari tadi. Mereka menempel di dinding, mirip seperti cicak dengan kepala di bawah. Belum habis keterkejutan kami, terdengar dari bawah suara teriakan. Membuatku menarik tangan lelaki itu dan segera turun.

    Kami bertubrukan tepat di bawah tangga, terjatuh, lalu berdiri dengan posisi saling membelakangi.

***

    Aku mematung di depan pintu. Sebuah tangan menggapai-gapai lantai kayu sebelum ditarik kembali. Saat kusorot dengan sinar senter, tubuh Deri sedang dilahap oleh mereka. Aku bergidik antara mual dan ngeri, melihat temanku sendiri diperlakukan seperti itu. Sebuah benda lalu terlempar dari dalam. Gawai. Aku segera membuka kata sandinya, lalu melihat bahwa apa yang dibacakan lelaki cungkring itu. Bajingan! Pantas saja dia yang biasanya paling penakut, jadi merasa biasa saja. Dia membaca mantra pengusir setan.

    Terdengar suara gemuruh yang mirip suara air bah. Limbung. Aku merasa kaki ini sulit untuk digerakan, hingga aku harus mengesot untuk sedikit menjauh dari vila kenanga. Satria dan Heru sudah menghilang dari pandangan. Aku mengeluarkan segala macam sumpah serapah atas kejadian ini. Dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan seluruh rumah itu diselimuti oleh hantu. Mereka merangkak turun, mendekati, lalu memegang seluruh bagian tubuhku.

    “Ampun! Ampun! Aaaa ....”

Bandung Barat, 25/06/2020

No comments:

Post a Comment