Monday 29 June 2020

Cerpen : Sepenggal Kisah Seorang Penulis

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_28
#NomorAbsen_302
Jumkat : 691 kata


Sepenggal Kisah Seorang Penulis


    Lelaki itu terlihat sangat stres di depan naskahnya. Menuliskan beberapa paragraf, sebelum terhenti, dan membuat cerita yang baru. Ia terlihat amat resah, ada suatu hal yang sangat mengganggunya.

    Digaruknya kepala yang tak gatal itu. Membiarkan khayalan, ilham, atau apa pun sebutannya masuk ke dalam tempurung kepalanya, agar cerita yang sedang ditulisnya bisa selesai. Namun, setiap kali ia menulis tokoh itu, entah mengapa jari dan pena yang digunakan selalu membawa tokoh ceritanya menuju dalam bahaya. Padahal, penulis itu sangat mencintai tokohnya tersebut. Replika seorang perempuan yang disadurnya dari sang mantan kekasih yang masih ia cintai.

    Dalam ceritanya, perempuan bernama Lastri itu memiliki rambut yang bergelombang seperti ombak, mata yang sebiru air laut, dan yang paling lelaki itu suka, caranya berbicara yang terkesan manja, selalu membuat si penulis kesemsem dan mencintainya setengah gila.

    Ia mencoba membaca beberapa paragraf cerita di atas kertas itu.

    “Perempuan yang senyumnya lebih menyilaukan daripada mentari itu berangkat bersama beberapa temannya untuk menjelajahi hutan. Ia terlihat sangat senang. Berkali-kali perempuan itu meyakinkan dirinya bahwa ini semua bukan mimpi. Semua ini adalah berkat perjuangan kerasnya setelah beberapa kali meyakinkan orang tuanya bahwa berkemah sungguh aman, bahkan untuk perempuan. Ia juga menyebutkan bahwa ia didampingi teman-teman yang telah terlatih.

    Tak henti-hentinya perempuan itu berbicara, untuk mengeluarkan kebahagiaan yang sudah tak terbendung lagi di dadanya. Dalam perjalanan yang melelahkan itu, ia adalah satu-satunya yang terlihat menikmati. Teman-temannya hanya tersenyum dan sesekali menanggapi. Namun, perempuan itu terlalu bersemangat hingga tak menyadari hal aneh itu.

    Setelah cukup dalam memasuki hutan, beberapa temannya meminta waktu untuk istirahat. Lalu salah satu teman lelakinya meminta ia untuk sedikit menjauh dari kerumunan, sebab ada yang ingin dibicarakan. Tanpa sedikit pun rasa curiga, Lastri mengikutinya.

    Angin memainkan rambut perempuan itu. Meski di bawah sinar cahaya rembulan yang palsu, kecantikan Lastri tetap memesona. Bahkan saat beberapa tetes keringat menempel di pelipis dan wajahnya sedikit kemerahan karena rasa lelah.

    Sebelum perempuan itu tahu apa yang hendak dibicarakan teman lelakinya, tiba-tiba saja ...."



Photo by Mona Termos from Pexels
Photo by Mona Termos from Pexels


    Penulis berambut panjang itu bergidik. Di dalam kepalanya, perempuan itu dibayangkan diperkosa bergiliran, dibunuh, lalu dibuang begitu saja. Dan, si teman perempuan itulah yang rupanya telah mempersiapkan semuanya. Dari mulutnya, keluar berbagai macam kata yang tidak pantas, lalu ditutup dengan kalimat, “Ia memang pantas mendapatkannya. Salahnya sendiri telah mengambil beberapa orang yang kusukai.”

    Padahal, menurut penulis itu, salah teman si perempuan. Suruh siapa terlahir jelek? Atau, mengapa tak menjadi lebih baik saja untuk menarik perhatian lelaki yang dia suka? Cih!

    Kini, lelaki itu mengelap keringat dingin di pelipisnya, meneguk kopi yang tinggal setengah, lalu menarik napas panjang. Ia harus tahu alasan kenapa tokoh perempuan dalam ceritanya itu selalu berakhir tragis.

    “Kafe yang berada di lantai dua itu selalu penuh dengan para pengunjung. Bagaimana tidak? Selain menunya yang sangat enak, harganya juga terjangkau bagi para muda-mudi. Selain itu, tempatnya yang sungguh asyik untuk menatap senja berdua. Membingkai cerita romantis yang sedang ditulis oleh kisah asmara para remaja.

    Perempuan bermata biru itu menatap kaca jendela kafe, sambil membayangkan pertemuan pertamanya dengan sang kekasih. Sederhana, tetapi sangat romantis. Hingga terdengar suara tembakan ....”

    Sekali lagi cerita itu berakhir tragis. Di tempat Lastri berada terjadi perampokan. Dan para penjahat itu menembak tokoh kesukaannya karena takut terus memperhatikan perempuan itu hingga tidak fokus bekerja.

    “Cih! Dasar mata keranjang!" rutuknya.

    Lelaki itu sangat ingin menyelamatkan tokoh tersebut. Hanya saja, Lastri seperti ditakdirkan untuk meninggal dengan cara yang tidak biasa. Tragis dan menyesakkan. Sebagai penulis, lelaki itu merasa tak memiliki hak untuk membuat cerita yang mampu menyelamatkannya. Maka ia berpikir, bahwa hanya ada dua kemungkinan. Tokohnya dibunuh secara mengenaskan atau bunuh diri.

    Dan, pilihan penulis itu jatuh ke nomor dua. Lelaki itu mulai berpikir, bagaimana cara terbaik untuk melakukan bunuh diri. Melihat sekeliling dan menemukan tali.

    “Berapa menit yang diperlukan setiap manusia untuk mati gara-gara gantung diri? Satu? Dua? Atau tiga menit?” bisiknya pada diri sendiri.

    Tak menemukan jawaban yang pasti, akhirnya lelaki itu melakukan observasi sendiri. Ia segera naik ke atas kursi, mengikatkan tali ke kayu dan lehernya, lalu membiarkan tubuhnya menggantung. Tiga puluh menit dan tak terjadi apa-apa.

    "Improvisasi saja," ucapnya pada diri sendiri. Ia mencoba mengambil pena, tetapi merasa ada sesuatu yang janggal. Saat berbalik, penulis itu tertawa. Tubuhnya masih tergantung di sana.


Bandung Barat, 28/06/2020

No comments:

Post a Comment