Monday 29 June 2020

Cerpen : Sepucuk Surat Kesedihan

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_27
#NomorAbsen_302
Jumkat : 803 Kata


Sepucuk Surat Kesedihan


    Aku sudah muak melihat cat putih ruangan ini, suara gorden yang dibuka tutup, juga derit tempat tidur rumah sakit. Aku tak ingin kehabisan detik dengan berada di sini. Aku ingin pulang saja, duduk di beranda sambil menatap senja yang jatuh di perbukitan sana bersama istriku. Aku ingin begitu saja.

    Aku juga sudah bosan pada dokter-dokter yang selalu mengecek kondisiku setiap hari, bau obat, suster-suster muda yang terkadang bersikap menyebalkan.

    "Cepatlah sehat, Tuan. Agar aku bisa memilikimu lagi sepenuhnya. Mari jalani sisa hari dengan lelucon-lelucon yang hanya kita yang tahu, kisah-kisah perjuangan kita saat muda, atau keluhanmu tentang sakit punggung, masuk angin, dan yang lainnya."

    Perempuan itu menggenggam erat jemariku dengan kedua tangannya, menguatkanku. Ia adalah wanita yang sangat tegar, bahkan di saat-saat seperti ini. Aku hanya bisa menyembunyikan tangis dalam senyum. Tangis yang seringkali tumpah saat ia terlelap.

    Sesekali para tetangga datang menjenguk atau menemani malamku di sini. Memberikan semangat bahwa kehidupanku masih panjang. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi. Apa artinya?

    Tubin adalah hari jadi pernikahan kami yang ke enam puluh. Ada firasat dalam diriku yang mengatakan, bahwa umurku sudah hampir pada batasnya. Penyakit ini telah menggerogoti diriku dan ini akhirnya. Kuambil kertas, lalu menuliskan segala yang kurasa. Bukan surat wasiat, tetapi permintaan egois pada perempuanku.



Photo by PhotoMIX Company from Pexels


***

    Perihal ketakutan akan kematian, Kekasih. Semoga bisa menjadi kekuatan di suatu hari nanti. Saling memeluk saat terpuruk, berpegangan di jalan licin penuh kebohongan, atau saling menguatkan saat digoyahkan. Kekasih, biarkan cinta jatuh di ladang harapan, agar ia tumbuh subur, bermekaran, hingga kita bisa memetiknya sambil mengenang saat-saat bersama.

    Ketidaksempurnaan yang membuat kita bisa saling melengkapi. Seperti, kita tak bisa memeluk diri sendiri dengan jangkauan tangan yang pendek. Hingga membutuhkan tubuh orang lain. Benar, kan?

    Kekasih, mencintai-Nya dan kamu saja sudah cukup bagiku. Aku yang fana ini sangat bahagia bisa hidup dan berbagi segalanya denganmu. Berada di sampingmu, menikmati secangkir kopi di beranda ditemani omelanmu. Berbagi kisah, kasih, keluh, dan resah. Sungguh, Kekasih. Jika Tuhan memintaku untuk pulang karena penyakit ini, aku rela. Aku sangat rela.

    Barangkali, tak ada yang namanya kesempurnaan di dunia ini. Waktu memburu napas hingga ujung, menuju haribaan yang dijunjung. Mengejar segenap ketidakpastian yang ganjil, terlepas kehidupan kita yang habis dicicil.

    Kita telah mengetahui bahwa segala yang ada di dunia ini fana, Kekasih. Yang abadi hanya toko bangunan, berjejer di jalanan sepi yang perlahan dilupakan. Aku ingin membuat cerita yang lucu, agar kamu tersenyum. Namun rasanya, aku memang sekaku awal pertemuan kita dulu.

    Kita fana, meski kenangnya menempel terus dalam jiwa. Sehingga anak-anak angan kerap berkunjung dan menyiksa. Sajak-sajak yang pernah tertulis, perlahan habis dikikis tangis. Kita pernah berharap umur lebih, tetapi takdir membuat kita menyesap sisa hidup dengan sedih.

    Untuk kamu yang masih kuat menghadapi kenyataan. Menyusun segala keinginan dengan mimpi-mimpi di masa depan. Percayalah, meski ragaku tak berada di sampingmu, jangan sampai ada setitik ragumu padaku. Meski dari jarak tak terhingga, meski dari dimensi yang tak lagi seirama. Percayalah, aku akan selalu mendukung dan mencintaimu.

    Mungkin nanti, kamu akan membaca kata-kata yang tertulis ini sambil menangis. Mengungkap kesedihan lewat air mata yang mengiris. Namun, pada segenap keinginan, khayalan, dan kenyataan, aku ingin selalu berada di sampingmu di segala suasana. Ini pelukku untuk segala masalahmu. Ini telingaku untuk mendengar segala ceritamu. Ini mataku untuk selalu menatap raut wajahmu. Ini tanganku untuk kamu genggam selalu, dan ini kepercayaan yang kutitipkan di dadamu. Biarkan aku mencintaimu, hingga kita bertemu lagi di tempat yang telah dijanjikan oleh-Nya.

    Terima kasih untuk segala yang pernah kamu berikan, dan maaf dariku untuk segala kekurangan. Aku mencintaimu.

***

    “Bila nanti saya mati, tolong berikan ini pada istri saya, ya, Sus.”

    Suster yang bertugas mengecek keadaanku terlihat bingung, tetapi tak bertanya. Disimpannya surat itu, lalu memeriksa keadaan pasien lainnya.

    Pukul empat sore dan istriku masih belum juga sampai di sini. Malah beberapa tetangga samping rumah yang datang. Mereka bilang, perempuan itu sedikit kelelahan hingga perlu istirahat. Aku mengangguk. Umur adalah sesuatu yang tak dapat disangkal dan tak pernah membohongi. Sama seperti perasaan.

    Jujur saja, ada yang terasa aneh dalam dada. Tampak ada sesuatu yang disembunyikan mereka. Mungkin, ini hanyalah prasangka, sesuatu yang tak dapat dijelaskan, atau kebiasaan orang-orang sebelum mati? Entahlah. Aku tak pernah tahu.

***

    Tak terasa, ini hari ke empat setelah aku menuliskan surat itu, hari jadi kita, dan hari di mana aku akan bertemu denganmu. Para tetangga yang baik hati ini bilang, kamu sudah mendingan, tetapi tak mengizinkan perempuan itu menemaniku. “Takut kembali sakit,” kata mereka. Dan, aku mengerti tentang itu. Hingga aku tak berani bertanya lagi dan bersikap menerima.

    Namun sekarang, saat aku sembuh dan diperbolehkan pulang. Para tetanggaku ini memeluk, lalu meminta maaf berkali-kali. Tidak hanya satu, tetapi semua orang yang kutemui. Konspirasi macam apa ini? Apa mereka semua akan meninggal mendahuluiku?

    Mengucapkan salam berkali-kali di depan pintu dan tak mendapatkan jawaban. Pak RT akhirnya datang, membawa sepucuk surat yang warna amplopnya mirip dengan yang kutulis empat hari yang lalu.

Bandung Barat, 27/06/2020

No comments:

Post a Comment