Thursday 25 February 2021

Cerpen: Kanvas-Kanvas Baru

#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_302
Jumkat : 550 kata


Kanvas-Kanvas Baru


    Aku benci sekolah. Tugas yang menumpuk, teman-teman yang berperilaku buruk, juga banyak hal lain yang selalu memberatkan pikiranku. Lebih baik aku di sini, di kamarku yang sempit ditemani kanvas, cat air, dan kuas.

    Aku benci sekolah. Mendengarkan penjelasan dari guru tentang hal-hal yang tak akan begitu berguna di kehidupanku. Menyuruhku mengingat nama-nama aneh dari negeri jauh, istilah-istilah yang tak bisa kupakai dalam percakapan sehari-hari, dan rumus-rumus yang bahkan ibuku saja sudah tak ingat untuk apa. Lagipula, aku sudah dicap sebagai pembuat onar yang tak memiliki masa depan, jadi untuk apa kuteruskan bertahan?

    "Suatu hari nanti, kamu akan membutuhkan ilmu-ilmu itu, Mas," ucapan seperti itulah yang selalu diulang-ulang ibu.

    "Bodo amat!" Ingin kuteriakkan kalimat itu, bukan hanya pada satu, dua, atau beberapa orang. Aku ingin mengucapkan kalimat itu pada dunia. Di sekolahkan pun, aku akan tetap bodoh tentang angka, tentang bahasa, atau membuat benda. Semua pelajaran itu mengalir saja di kepalaku, tanpa mau --setidaknya-- diam, atau membasahinya meski sebentar.

    Jadi wajar saja aku selalu dikucilkan dan tak memiliki teman. Aku memang tak berguna.

    Seringkali aku ditegur karena tak memerhatikan dan lebih asyik membuat gurat-gurat tak menentu di atas kertas. Mengangkat sebelah kaki sambil menjewer telinga adalah hal biasa. Bagiku, itu lebih baik dibanding menatap gerakan dan pembicaraan monoton guruku.

    Tak ada komunikasi, tak ada perbincangan dua sisi. Hanya pembelajaran satu arah yang membosankan. Mirip seperti menonton sinetron yang telah diputar berulang-ulang. Tidak menarik.

    Hingga suatu hari, datang seorang guru nyentrik yang tiba-tiba saja masuk ke kelasku. Menghipnotis semua murid dengan auranya yang seperti teman lama.

    Gerimis bulan juni datang berkunjung. Memaksa kami --para siswa-- harus lebih merapatkan jaket untuk menghilangkan gigil.

    "Selamat siang, Anak-anak. Perkenalkan nama saya Rendi, guru baru kalian di bidang seni. Mohon bantuannya untuk beberapa bulan ke depan."

    Seketika, hening hinggap di telingaku. Kelas ini rasanya sudah pindah dimensi. Tak seperti biasanya.

    Lelaki itu lalu tersenyum, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, lalu memejamkan mata sebentar sebelum melanjutkan berbicara.

    "Ada yang suka dengan drama, alat musik, atau melukis?"

    Masih tak ada jawaban. Aku yang biasanya lantang untuk berbicara, kini seperti macan kehilangan aumannya.

    "Baiklah, jika tak ada yang mau berkata." Guru itu menghampiriku, menyerahkan lembar-lembar kertas untuk dibagikan, lalu mengucapkan kata tolong yang terasa begitu lembut. Dan, bodohnya aku yang mengikuti perintahnya.

    Belum selesai aku membagikannya, beliau malah berkata dengan tegasnya. "Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, untuk kalian, kanvas-kanvas baru. Camkan ini. Jangan takut untuk salah, jangan takut untuk melangkah. Jatuh, bangun lagi. Tersungkur, bangkit lagi. Sangat manusiawi jika takut gagal dan kadang kehilangan harapan. Namun, di dunia ini tak ada manusia yang gagal. Prinsip, motivasi, kerja keras, dan tujuan yang hendak dicapailah yang membedakan."

    Aku tertegun sejenak. Kata-kata itu seperti meresap ke dalam kepalaku. Menyingkirkan setiap kemungkinan-kemungkinan yang selama ini merundungku. Jika boleh kuanalogikan, mendung yang selama ini mengelilingiku, hilang begitu saja dilahap kata-katanya.

    Segera kuselesaikan tugas dari Pak Rendi, lalu duduk kembali ke bangku paling belakang. Untuk pertama kalinya, aku serasa dilahirkan kembali.

    "Ciyee dapet guru yang cocok. Selamat, Mas," ucap Sardi menggodaku.

    Kutatap matanya dengan penuh amarah. Awalnya, ia memasang wajah tak bersalah sebelum akhirnya menjadi ketakutan dan menjerit-jerit.

    Semua murid di sini adalah kanvas baru, bukan? Bagaimana jika kubuat sketsa di wajah tampannya itu. Kuambil pena di atas meja, lalu menyeringai. Kudengar teriakan di seluruh ruang kelas, sebelum ditenangkan Pak Rendi.

Bandung Barat, 07/06/2020

No comments:

Post a Comment