Friday, 28 April 2017

FlashFiction; Sabar



Sabar

    . "Kenapa sih kalian masih *keukeuh gangguin aku?" Arffa menatap beberapa wanita di ruangan itu.

    "Aku gak rela kamu sama cewe lain, Ar. Sampe kapan pun!" Mata wanita itu seolah berbicara. 'Lo sama gue selamanya! Titik.'

    "Terus kenapa waktu kita masih jadian, kamu malah pergi gitu aja ninggalin aku, Sya?"

    "Aku nyesel, Ar. Please! Kita harus balikan lagi, iia?" Nada suaranya penuh pengharapan.

    Tak menjawab, lelaki itu memindahkan pandangannya pada wanita berkulit putih di sebelahnya.

    "Aku sayang kamu. Kamu juga harus sayang aku dong. Selain itu, aku udah berubah, gak egois kaya dulu."
  
    "Bukannya gak relain mantan juga termasuk egois ya, Ra?"

    Rara bungkam seribu bahasa. Tak berkutik.
    "Ines udah berusaha lupain kamu, Beib. Tapi ... rasanya semua itu gak mungkin. Gak akan ada yang bisa gantiin kamu di sini, di hati Ines," ucap wanita paling muda di antara mereka, sambil memegang dadanya.

    "Aku udah gak punya hubungan khusus sama kalian. Jadi tolong, saling mengerti, saling mengikhlaskan."

    "Gak setuju aku, Ar!"

    "Gak bisa! Kamu harus balikan lagi sama aku titik!"

    "Ines susah ngelupain kamu, Beib."

            

                                                          SABAR 
              Lelaki itu terus mengurut dada, hingga para mantan keluar dari tubuhnya.


Bandung Barat, 2017


Thursday, 27 April 2017

Prosais; Penantian


 Penantian


   Kita kembali menelan harap yang kian berkarat, sedangkan rindu-rindu ini telah melebihi batas dada. Kita berdua tenggelam dalam nasib yang belum berpihak. Dik, rasa ini terus bertambah setiap detiknya. Aku tak yakin bisa melupakanmu, meski kau terus menyuruhku menjauhimu.

    Hampir setahun kita menjalani masa jauh, bernestapa dengan keluh. Aku ingin sekali pergi ke kotamu, menggugurkan apa yang tumbuh. Bukan cinta tapi menguatkan akar hati yang mulai rapuh. . Kita belajar saling memahami. Matamu menjelma mataku, telingamu mendengar apa yang kudengar. Aku adalah kamu, dan sebaliknya. Dua jiwa jadi satu, hanya karena sebuah alasan hati;cinta.

   Dik, terima kasih kau telah sabar menantiku. Tiada harap yang berlebih, selain kita menjelma satu dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan. Lalu berusaha saling menguatkan, hingga kau jadi abu dan kau di sebelahku.

Bandung Barat,  19 Maret, 2017
#Ar_rha
(@ArdianHandoko / @TintaMini)

Friday, 21 April 2017

FlashFiction; Usai Kutembak

Usai Kutembak



    "Kita bukan pelangi yang hanya melukiskan kenangan, ingat? Kita adalah sepasang kertas dan pena yang akan selalu menuliskan cerita," tangan wanita di depannya digenggam, dengan harapan itu dapat mencairkan suasana yang sedari tadi membeku, tapi wanita di depannya tetap diam.

    "Aku mohon jawabanmu, Cut. Sepatah atau dua patah kata. Jika kamu diam, batu pun diam. Tapi aku tak suka batu, yang aku suka cuman kamu."

    Masih saja hening itu melatar belakangi keadaan mereka berdua.

    Lelaki itu terus menatap wanita di depannya, dengan harapan ada jawaban atau apa pun yang menunjukan bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

    Namun tetap saja, tak ada sepatah kata pun yang bisa didengar. Langit mulai menghitam lelaki itu mulai jengah, atas pupusnya harapan.

    "Jika tak ada cinta untukku, baiklah aku akan pergi selamanya dari kamu." Dia pun memeluknya.

    "Hah? Basah?" ditatapnya lengan yang berlumuran darah.


Rahmat Hidayat >> FIKSIMINI KITA
    USAI KUTEMBAK - Aku terus menunggu jawabanya dengan cemas. Gebetanku masih saja membisu, dengan luka di dadanya.


#Ar_rha

Thursday, 20 April 2017

Prosais; Gundah

Gundah

   Waktu-waktu berlalu meninggalkan kesendirian yang bertalu. Genderang biru; haru menggema dalam kalbu. Aroma kenangan atas senja, dalam batas malam yang makin pekat, di ujung tiang yang menjadi sekat namun wajahmu tetap saja melekat.


    Nikmat terasa, jadi khayalan. Memakan impian yang tercipta dari bualan sialan, hingga di akhir waktu yang jadi penyesalan; kenangan yang terus membayang.


    Kertas putih itu kini banyak tertumpah tinta. Kerap kali terdengar jeritan pilu yang lahir dari dusta. Kata; menyangga seperti bata-bata yang menumpuk dalam jiwa. Coretan serta goresan tercipta, aroma nestapa pun semakin menyengat bagai membakar dupa. Goyah, laut yang biru itu dijadikannya merah karena amarah, yang gagah menyerah. Kini terlihat teramat payah.

Bandung Barat, 19/04/2017
@Ardian_handoko
@TintaMini

Wednesday, 19 April 2017

FlashFiction; Setangkai Mawar


Setangkai Mawar



   "Lelaki yang jauh di sana, Puan. Telah mencapai puncak kerinduannya. Hingga, jika dia tak dapat mengutarakan isi hatinya, maka jiwanya dipastikan meledak. Oh jiwa yang malang, hatinya yang rapuh itu bertahan dari segala sunyi dan masa-masa indah.  Aku diutus atas dasar jiwanya. Bolehkah aku mulai ceritanya, Puan?" 

   Kedua lengan lelaki itu patah, lalu terjatuh ke lantai. Wanita itu tersenyum, dia tahu siapa yang mengirim lelaki ini ke sini.

   "Sajak-sajak rindu menghias kamarnya yang kelam. Puan, mungkinkah ada rinai yang kau baca dari kata-kata pemujamu itu? Meski berteman bintang-bintang gemerlap, namun tetap saja takdirnya terasa gelap. Apa kau merasa apa yang dia rasa, Puan?"

   Perlahan, kaki lelaki di depan wanita itu melepaskan diri dari tubuhnya.

   "Di sana, di kota perantauan yang disebut tempat mendulang mimpi. Dia tak dapat melupakan sedetik pun wajahmu, Puan. Seribu keluh melagu, beberapa bunga sempat merayu, tapi Puan, dia memilih bertahan dengan mencintaimu. Karena bagi dia, menuai kebahagian itu ada dalam dekapmu."

   Daun telinga lelaki itu pun gugur.

   "Ada biola yang tak berdawai, karena nada-nada terdengar lirih dari doa yang kau kirim dari jauh. Hanya saja, jarak adalah batas yang kini belum bisa dia tembus. Karena sebuah pengharapan itu terus dia cari untuk menerangi jalan-jalan yang akan kalian berserta anak-anak tapaki. Dia sungguh tersiksa rindu pelukmu, rindu masakanmu, rindu semua tentangmu, Puan."

   Akhirnya lelaki itu lenyap. Potongan tubuhnya yang jatuh berubah menjadi kelopak mawar dan kini tangkainya sedang digenggam sang wanita.

   "Aku pun masih begitu, Puan. Bahkan kini, orang-orang menyebutku wanita berpayung rindu."

Bandung Barat, 19/04/2017





CCgrup fipimi on facebook

 

Friday, 14 April 2017

FlashFiction; 'Sial! Aku makin cantik!'

'Sial! Aku makin cantik'


    Pagi ini udara begitu menusuk. Mentari sepertinya masih mengambil jatah cuti dan para awan yang sering menyenandungkan rintik-rintik hujan itu yang menggantikannya.

    Selimut begitu erat memelukku di atas kasur, hendak menepis hawa dingin musim hujan di bulan desember. Ah, kutukan sebagai pekerja yang membuatku terpaksa bangun meski dengan cuaca seperti ini.

    Kubasuh muka dengan air sedingin kutub selatan dari keran. Andai saja tak ada pekerjaan yang menungguku, mungkin aku masih membelai mimpi-mimpi yang tadi hendak mekar.

    Sarapan dengan sepotong roti berbalur selai, serta secangkir coklat hangat. Hening, tak ada ruara apa pun di rumah ini, maklum jomblo akut.

    Menatap jam dinding yang terus saja melangkah tanpa peduli apa pun atau siapa pun. Menunjuk-nunjuk angka dengan pasti, seolah menyindirku yang masih ragu mengambil keputusan tentang menerima takdir, atau membencinya.

    'Jam 9? Telat sudah!' terpikir bagaimana kepala kantor yang akan membesar lalu memaki, 'Nasib ... nasib ...."

    Melangkah menuju kamar, membuka pintunya lalu mengambil beberapa kosmetik sebagai penambal kekurangan wajahku. Kutatap cermin sebentar, berasa aneh dengan wajahku sendiri.

    "Sial! Aku menjadi lebih cantik!" menggerutu aku atas bayanganku sendiri di balik cermin. Melangkah keluar dengan berbagai pemikiran yang berkecamuk, "Tubuh baru lagi?" ratapku.



Fm
SIAL! AKU MAKIN CANTIK- "Tubuh baru lagi?" gerutuku kesal.

Thursday, 13 April 2017

Prosais; Belajar Menerima

Belajar Menerima


   Ada yang bertahan atau singgah sebentar. Kita bisa apa? Tuhan punya kuasa dan kita hanya bisa berusaha lalu menerima. Tiada manusia yang lurus, tetap saja ada lekuk. Bukankah itu indah? Naik turun mencapai titik tertinggi, termenung, terhenti. Sejenak menangis, sejenak tertawa, sejenak membabi buta. Benar-benar tak ada yang abadi.


    Merah, putih, hitam, biru atau apa pun warnamu. Kita semua bisa membaur; membias, karena setiap warna punya kekurangan serta kelebihan.


     Jangan pernah bilang paling malang. Karena semua hanya sebentar, sekejap, sesinggah. Jika satu hati tak mengenyangkan, bisa saja kau tambah. Asal ingat sodara. Sesuaikan juga dengan isi kantong.


    Karena nyatanya, kita hanya manusia-manusia telanjang. Tiada baju, tanpa helai, bahkan jika tanpa kulit, kita begitu menakutkan.

Bandung Barat, 2017

Friday, 7 April 2017

Prosais; Malam

 Malam

  Di tepian malam yang makin larut, aku masih tak ingin terpejam. Udara mungkin bisa membuat tubuhku mengigil, namun kebimbangan hingga kini belum membeku.
 
    Lampu-lampu kendaraan, menyorot kegelisahan jiwa yang masih penuh angan, namun entah kapan berhenti bertepuk sebelah tangan. Dunia gelap masih saja membiarkan nafas resah meradang, mengusir rasa yang tak di undang.

    Si pembuat onar: ke-egoisan, kembali mengacak-acak tatanan kasih yang lama kucoba rapihkan. Gemerlap suara mimpi terus mengiang bahkan ketika aku terjaga.

    Biarlah yang remang tetap menjadi misteri, hingga malam bisa berjabat dengan ngeri. Biarlah yang samar  membuat hayalan, di balik damar yang menari mengikuti terpaan angin.

   Selamat malam mimpi-mimpi, semoga Tuhan menghujanimu meski tak kusirami.
   Selamat malam rindu, karna kebiasaan berharap lebih, lalu lebih berharap kau tersiksa.
   Selamat pagi, bagi sebatang rokok, segelas air panas, dan buaian yang belum terjawab, semoga pikiran masih bisa menuntun kalian.
Bandung Barat 2017

Thursday, 6 April 2017

Prosais; Untuk gadis penenun mimpi


Untuk gadis penenun mimpi

    Kenapa mukamu kau tekuk, Dik? Kemarilah, bersandar di bahuku, ceritakan semua rintang yang meruntuhkan senyummu. Habiskan keluh kesahmu malam ini, semoga bulan serap semua kesakitan itu. Hingga senyum, menghiasi wajahmu esok hari.

    Apa kau masih merasa sedih? Apa karena mimpi yang patah? Bersabar, mungkin ini cara Tuhan agar lebih menyuburkan lagi keiklasanmu. Merimbunkan asa tuk masa depan yang lebih teduh.

    Hujan di pipimu, akan berganti pelangi di bibirmu. Semoga yang hilang segera berganti. Seperti musim, mereka saling melengkapi. Hujan-panas, gerah-dingin, atau apa pun. Itu semua hanya soal waktu. Mereka slalu saling berbagi, saling mengisi.

    Mungkin saat ini keluh kesahmu tak berguna. Tapi, coba tulis dan renungkan sejenak. Semua itu akan bermakna, kau akan tertawa saat sudah melewati semuanya. Kuibaratkan, ini seperti membangun rumah. ketika kita hendak membangun, bukankah yang lama dihancurkan? Atau seperti kita menanam sesuatu, tanah yang hendak kita semai, kita gemburkan dengan mencangkulnya bukan?

    Dik, apa yang sedang kau lewati itu bermakna. Bukankah kau yang bilang pengalaman itu adalah guru yang berharga? Seperti halnya masalahmu kini, begitu menyiksa namun bukan kah itu mengajarkan apa itu dewasa?

   Bernyanyilah, "*Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur lebur akan terobati, yang sia-sia akan jadi makna."




#Ar_rha
Bandung Barat 2017

Wednesday, 5 April 2017

FlashFiction; Janjian


 Janjian


   Wanita berambut hitam itu terlihat sangat resah saat duduk di dalam angkot. Dibacanya berkali-kali sms dari sang kekasih. 'Aku tak boleh terlambat' bisiknya dalam hati.

    'Sial macet!' Kutuknya dalam hati. "Bang kiri," dia segera turun, membayar ongkos lalu berlari sekencang yang ia bisa. Beberapa kali tubuhnya bertabrakan dengan orang-orang di sana, hanya kata maaf tanpa memperhatikan wajah-wajah yang ditabraknya. Banyak di antara mereka menatapnya dengan aneh, tapi wanita itu tak peduli.

    Akhirnya sampai, diliriknya jam ditangannya lalu berjalan perlahan ke sudut taman itu. Di sana seseorang telah menunggunya.


JANJIAN - "Maaf aku terlambat, beberapa menit," ucap wanita itu di depan fosil seorang laki-laki.

Prosais; Untuk Sahabat



 Untuk Sahabat


Kehujanan kepanasan itu biasa
Kita jalani ini tiada berbeda
Berbagi mimpi, masa depan, cita-cita
Sahabatku tiada duanya
Genggam erat tanganku
Rangkul saja bahuku
Kita 'kan selalu bersama
Hiasi hari ini, dengan sempurna
Sahabatku tiada duanya

(Endah Nd rhesa - sahabat)

     Garis-garis vertikal, memuat simulasi atas kenangan-kenangan masa lalu. Membuka lipatan waktu yang terukir di memori. Membingkai cerita-cerita yang pernah terjadi menjadi sebuah film, diputar di ruang rindu.
 
    Kini, masa lalu menceritakan sejarah dimana gadis kecil (yang kini beranjak dewasa) ditemani para sahabatnya tengah bermain di pekarangan rumah yang cukup luas. Gadis itu tersenyum simpul dengan es krim rasa coklat di tangan kanannya dan beberapa permen di tangan kiri. Sesekali mulut kecilnya yang polos mengucapkan beberapa patah kata (yang jujur) jadi bahan tertawaan orang tua dan para tetangganya.

     Kisah-kisah emas yang pernah dilukis waktu, kini hanya dapat dibayangkan. Hanya senyuman atau mungkin sebuah kesedihan. Ketika tokoh-tokoh masa lalu pergi, berubah atau mungkin telah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Mungkin ini adalah alur hidup seseorang, mengalir dari hulu sampai hilir;kematian.

    Gadis itu mengambil nafas panjang, dalam pikirnya berkecamuk. Entah tawa atau duka yang harus dia rasa. 17 tahun bukanlah hitungan yang singkat. Banyak teman yang datang dan pergi, sisakan kerinduan hingga ke titik paling menyedihkan.

(Putih Merah) 


|"Nia, ngerjakeun pr bareng, yuk!"
|"Ke siang? Ka bumi Sania wenya, sakantenan urang ameng masak-masakan."|
|"Muhun, ke abi ka ditu dianterkeun ku teteh."|


  Kisah lain pun mengikuti (Putih Biru)

|"Nia, pulang sakola kumpul organisasi! Pasihan terang nu sanes."|
|"Tapi Kang, Nia nuju seu'eur tugas."|
|"Teu aya alesan! Sadayana wajib kumpul!"|

Hidup terkadang rumit, namun satu hal yang pasti, seseorang yang pernah singgah, tak akan pernah akan bisa dia (atau aku, mungkin juga kalian) lupakan. *tutup buku


Bandung Barat, 05042017

Tuesday, 4 April 2017

FlashFiction; Sepasang Mata di Atas Kasur

Sepasang Mata di Atas Kasur


    Kubuka mata meski enggan. Dengan malas kutatap jam dinding di tembok kamar.


   "Baru jam dua," kembali kupenjam mata ini.


   Terdengar suara barang berjatuhan dari luar kamarku. "Paling tikus," pikirku.


   Ngeekk ...


   Meski takut, kuintip siapa gerangan yang berani masuk ke kamarku.


   Sesosok tubuh tengah berdiri di dekat lemari baju. "Paling teman atau saudaraku yang iseng," mataku memperhatikan ke bawah. "Alhamdulilah, kakinya masih menempel," kupindahkan arah pandangan ke mukanya.


   "Astaga, wajah itu ternyata ...."



                                                 SEPASANG MATA DI ATAS KASUR

                                                 Ketakukan menatap tubuhnya tanpa mata.

FlashFiction; BENSINNYA BOCOR

BENSINNYA BOCOR


"Kang! Keren motornya."

"iya, Den. Over kredit ieu ge, hehe."

Deni membalas senyumku lalu pergi.


"Kinclong!" kupakailah si ninja baru ini jalan-jalan berkeliling kampung, sekalian test drive.


"Kang! Bensinna bocor." kaget, aku segera turun dan memeriksa motorku.


"Ya Allah," kulihat sepanjang jalan yang dilalui tadi tercecer cairan berbau sedikit menyengat itu. 


"Untung keburu ketahuan."


"Iya, Kang."


Tangan kanan Deni masuk ke dalam saku, mengambil korek, sedangkan tangan lainnya menyimpan rokok ke mulutnya.
.
Tak sempat  kucegah, Deni sudah menyalakan korek dan otomatis bensin yang tadi bercecer di sepanjang jalan ikut terbakar.


Kami berdua menjauh dari motor, sedangkan api dengan cepat membakar aspal, merembet hampi ke motor ninja, dan ... dan ....



BENSINNYA BOCOR  Panik, motor ninja itu meloncat ke dalam kolam ikan.

Sunday, 2 April 2017

Cerpen; Takdir

Takdir

 

    Kala senja memayungi kota Bandung. Termenung Kakek Sobari dan istrinya, Nenek Rohimah di teras depan. Waktu itu langit merona kemerahan, enggan untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

    Hanya tersedia kendi berisi Teh di atas meja, juga beberapa potong singkong rebus bertabur parutan kelapa sebagai cemilan mereka. Namun jika dinikmati dengan orang tercinta, semua akan nikmat, kata mereka.

    "Nek, kita sudah bersama lebih dari puluhan tahun. Terima kasih untuk semua waktu-waktu bersama," ucap kakek Sobari.

    Nenek Rohimah menatap mata sang suami, lalu memamerkan gigi-gigi yang tersisa. "Kakek masih kaya dulu, suka gombal haha," balas si nenek sedikit terbahak.

    "Rumah ini sepi, anak-anak hanya pulang saat hari raya." Ratap si kakek.

    "Mungkin ini sudah takdir kita, disyukuri saja. Seperti do'a kita dulu, hingga rambut kita memutih, kita terus bersama," setelah berkata, nenek Rohimah meneguk teh dari cangkirnya.

    Seminggu berlalu, tubuh nenek Rohimah terserang penyakit batuk. Semua pengobatan telah dilakukan, kesehatannya tak juga membaik.

    Anak-anaknya yang merantau ke kota pun segera pulang untuk menjaga sang ibu yang keadaannya semakin lemah. Rumah pun kembali ramai, namun dilanda kesedihan.

    Takdir manusia selalu dibatasi kematian, dan garis-garis maut tak bisa diubah. Kini, pemilik tubuh renta itu akan dipanggil sang Kuasa. Di sampingnya, kakek Sobari mengajarkannya kalimat tauhid.

    Anak dan cucunya menangis di depan jasad nenek Rohimah. "Setiap bernyawa pasti akan mati, karena itu kepastian," ucap si kakek, meski terlihat terpukul, beliau berusaha tegar.

*****

    Para tetangga dan sodara pun banyak yang melayat, ikut berbela sungkawa atas kepergian nenek Rohimah.

*****

    Langit cerah menyengat kulit para manusia yang sedang diselimuti kesedihan. Do'a pun terlantun untuk ketenangan nenek Rohimah, setelah ditutup oleh Pak Ustad, semua kembali ke rumah masing-masing.

*****

    "Nak, jika suatu saat nanti Ayahmu ini meninggal, tempatkan di samping ibumu ya," wasiat kakek Sobari pada anak dan cucunya.

Bandung Barat, 2017